Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beograd, 50 Tahun Silam

Kompas.com - 08/04/2011, 02:55 WIB

Josip Broz Tito! Nama itulah yang pertama kali muncul begitu menginjakkan kaki di Bandara Belgrade, Beograd, Serbia. ”Nah, kita sampai di negeri sahabatnya Bung Karno, Tito,” komentar Andri Hardi, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI, Rabu (6/4) sore. Ia memimpin delegasi Indonesia untuk menghadiri dialog interfaith (dialog antar-agama) antara Indonesia dan Serbia di Beograd.

Tito memang nama besar. Dialah salah satu dari lima tokoh besar peletak berdirinya Gerakan Nonblok (GNB). Keempat tokoh lainnya adalah PM (pertama) India Jawaharlal Nehru, Presiden (kedua) Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden (pertama) Ghana Kwame Nkrumah, dan Presiden (pertama) Indonesia Soekarno.

Beograd menjadi tempat kelahiran sekaligus tempat pelaksanaan konferensi pertama GNB, 1961. Tahun ini GNB genap berusia 50 tahun. Tujuan dari GNB, seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Havana (1979), adalah menjamin ”kemerdekaan, kedaulatan, integritas nasional, dan keamanan negara-negara nonblok” dalam ”perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, rasisme, dan semua bentuk agresi asing, pendudukan, dominasi, campur tangan, atau hegemoni, juga melawan politik blok dan adikuasa”.

Sejarah bercerita, Tito adalah tokoh besar yang dahulu mempersatukan Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Negara Yugoslavia sebenarnya sudah berdiri tahun 1918 dan dibentuk oleh Serbia, Montenegro, Macedonia, Kroasia, Slovenia, dan Bosnia-Herzegovina.

Namun, tiga hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-88 (Tito lahir tanggal 25 Mei 1892) pada tahun 1980, semua berubah. Total! Tito meninggal sekaligus meninggalkan segudang bom waktu. Pertama, legitimasi kekuasaan pusat mulai merosot. Akibatnya masing-masing republik merasa terancam oleh republik lain. Kedua, isu primordial yang dulu ”diredam” menjadi isu yang sangat sensitif.

Ketiga, makin kuatnya tuntutan desentralisasi di bidang ekonomi dan politik (misalnya dituntut oleh dua republik paling kaya yang selama Tito berkuasa merasa dieksploitasi: Slovenia dan Kroasia). Keempat, tuntutan otonomi republik makin kental dan kuat.

Dan akhirnya, Yugoslavia bubar! Sejak itu, Beograd pun berwajah muram. Pemimpin baru negeri itu, Slobodan Milosevic, belakangan malah disebut sebagai ”Macan Benggala”, atau ”Penjagal dari Balkan”, atau ”Hitler Baru”, karena dianggap bertanggung melakukan genosida di negeri bekas Yugoslavia itu.

Namun, Beograd masih seperti dulu, walau Yugoslavia sudah pecah, walau tidak lagi menjadi ibu kota Yugoslavia. Beograd yang kini ibu kota Serbia tetaplah berdiri megah di pertemuan aliran Sungai Danube dan Sava. Sungai Danube dan Sava bukanlah sekadar sungai. Keduanya menjadi urat nadi yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Eropa bagian utara lewat Jerman ke Constanta, Romania, di Laut Hitam. Setiap hari ”tubuh” sungai itu dialiri 100 juta ton barang yang diangkut kapal-kapal barang. Itulah sebabnya Sungai Danube bagaikan urat nadi yang mengalirkan darah ke berbagai bagian tubuh Eropa.

Kalau kali ini Beograd menjadi tuan ramah dialog interfaith, tentu menegaskan keberadaan kota itu yang memiliki pengalaman dan sejarah bersentuhan dengan masalah bagaimana sebuah negara yang multi-etnis dan multi-agama akhirnya hancur berantakan. Beograd juga memiliki pengalaman tentang agama yang tidak memberikan kedamaian dan persaudaraan, tetapi justru menjadi pendorong konflik dan permusuhan. Inilah kegagalan Beograd.

Lima puluh tahun silam, ketika kota itu menyaksikan lahirnya GNB, tidak ada yang pernah menduga bahwa Beograd harus menyaksikan kehancuran Yugoslavia karena primordialisme, yang justru dahulu dilawan para pendiri GNB.

Kini, 50 tahun setelah peristiwa bersejarah di Beograd tersebut, Serbia dan Indonesia akan menjadi tuan rumah peringatan 50 tahun KTT GNB, yaitu pada Mei 2011 di Bali dan September 2011 di Beograd. Akan tetapi, saat ini Serbia tidak lagi menjadi anggota GNB, tetapi berstatus peninjau karena keputusannya untuk berproses jadi anggota Uni Eropa.

(Trias Kuncahyono, dari Beograd, Serbia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com