Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revolusi atau Reformasi?

Kompas.com - 29/03/2011, 04:36 WIB

Serentetan perubahan politik yang akhir-akhir ini terjadi di Tunisia, Mesir, dan terakhir di Libya memunculkan pertanyaan, apakah itu benar-benar revolusi atau reformasi? Karena nyatanya, meski pemimpin rezimnya berubah, infrastruktur Mesir toh masih tetap, tak berubah.

Sebuah revolusi adalah sebuah peristiwa perubahan yang total dan cepat. Mesir pernah mengalami revolusi pada 1952 ketika Raja Farouk digulingkan oleh Gamal Abdel Nasser dan kawan-kawan. Mesir pun berubah, dari semula monarki menjadi sebuah negara republik dengan presiden pertamanya, Muhammad Naguib.

Nasser sendiri menjadi presiden kedua Mesir dan menikmati masa modernisasi Mesir serta sempat memajukan nasionalisme Pan-Arab, termasuk bergabung dengan Suriah walau hanya berjalan singkat.

Revolusi juga pernah terjadi di Libya pada 1969 saat terjadi perubahan kekuasaan dari Raja Idris ke Khadafy. Sedangkan kasus perubahan politik di Tunisia dimulai dengan sebuah kenyataan bahwa ada pedagang kaki lima yang membakar diri. Kemudian solidaritas yang digalang melalui situs jejaring sosial Facebook menggumpal menjadi luapan ketidakpuasan.

Setelah Presiden Zine al-Abidine Ben Ali turun, yang kemudian berkuasa di Tunisia adalah penguasa sementara militer. Maka yang sebenarnya terjadi di Tunisia adalah reformasi saja walau nantinya akan dilakukan pembatasan kekuasaan di Tunisia yang selama 23 tahun terakhir terus dikuasai Ben Ali.

Demikian juga di Mesir yang belum lama ini melakukan referendum perubahan konstitusi setelah tumbangnya Presiden Hosni Mubarak oleh aksi massa. Dalam rencana perubahan konstitusinya pascareferendum, di antaranya adalah membatasi kekuasaan seorang presiden Mesir hanya dua kali masa jabatan.

Kalau mau dibandingkan dengan Indonesia, partai berkuasa NDP (Partai Nasional Demokrat) itu adalah Golkar (Golkar pada era Soeharto)-nya Mesir yang juga didukung oleh militer dan hampir terus-menerus memenangi pemilihan umum. Pada 1993 NDP menang 100 persen, demikian pula pada 1999. Dan, tahun 2005 meski tak bulat, masih juga 88,60 persen.

Meski mendapat tekanan dari luar, terutama dari Amerika Serikat pada 2005, toh Hosni Mubarak dan NDP-nya masih berhasil menang meski terpaksa harus mengubah satu pasal dalam konstitusi mereka yang memungkinkan calon presiden Mesir lebih dari satu. Sebelumnya hal seperti itu tidak pernah ada. Dulu hanya satu, na’am (yes). Dan, semuanya harus menjawab na’am.

Maka muncullah pada pemilu tahun 2005 itu partai dari Hizbul Ghad (Partai Hari Esok) dengan kandidat Ayman Nour (7,30 persen) serta Nu’man Guma dengan partai barunya, Hizbul Wafd Al-Jadid, dengan 2,80 persen suara.

Meski demikian, dengan tergusurnya Mubarak melalui aksi massa bulan lalu, toh tak mengubah infrastrukturnya. Telah terjadi reformasi di Mesir. Seperti arti katanya, reformasi diartikan sebagai penataan ulang suatu ketatanegaraan yang berdasarkan landasan lama.

Libya

Perubahan di Libya ketika Kolonel Moammar Khadafy menggulingkan Raja Idris pada 1969 itu merupakan sebuah revolusi.

Dengan kekuatan ”buku suci”-nya, Kitab al-Akhdar (Buku Hijau, buku politik Libya), Moammar Khadafy membangun Libya dengan caranya sendiri. Kekuatan minyak digunakan sebagai alat ekonominya meski harus membungkam rakyatnya. Partai-partai politik dilarang oleh Khadafy, menjelang tahun 1970-an. Sebab, menurut Khadafy, partai politik itu adalah bagian dari diktator.

Khadafy juga tak pernah menggelar pemilihan umum untuk memilih pemimpin Libya. Dan, dengan tangan besinya itu, Khadafy mampu berkuasa selama 40 tahun.

Ini memang agak sedikit berbeda jika dilihat dengan kacamata demokrasi ala Barat. Sangat tidak demokratis, tetapi bagi Moammar Khadafy, cara ini adalah cara yang cocok untuk Libya.

Khadafy juga mengkritik sistem parlemen karena yang namanya perwakilan itu bukanlah suara rakyat. Dunia modern tentu tidak akan bersimpati kepada Khadafy yang memimpin negerinya dengan cara itu. Akan tetapi, itulah Khadafy.

Sebetulnya Khadafy juga ingin membangun semacam kerajaan, dengan Saiful Islam—salah seorang anaknya—dipersiapkan sebagai orang yang akan menggantikannya. Meski demikian, di antara anak-anak Khadafy sendiri memang ada juga pertikaian.

Apakah aksi massa yang telah ”berhasil” menggulingkan Ben Ali dari kekuasaan di Tunisia dan Hosni Mubarak di Mesir akan berhasil pula menumbangkan Khadafy? Tentunya ini bergantung pada bagaimana kekuatan konsolidasi oposisi plus peran militer Libya, yang sampai saat ini masih berada di belakang Khadafy.

Dampak pergolakan di Mesir sangat berpengaruh di Libya. Hal itu bisa dilihat bahwa pergerakan oposisi Libya dimulai dari sebelah timur, dekat Mesir. Dan, seperti juga nama kota, tempat dimulainya pergolakan adalah di Libya timur, Benghazi. Kota itu arti katanya adalah ”anak perang”. Benghazi adalah tempat yang di dalam sejarah Libya merupakan asal muasal orang- orang kuat yang suka perang. Sebuah tempat yang memungkinkan untuk selalu bergejolak dan kemudian menentang Tripoli, pusat kekuasaan Khadafy.

Kemudian ada juga faktor eksternal, Amerika Serikat, yang dicurigai ikut mendorong atau mendukung oposisi ini dengan cara tidak langsung. Kemungkinan karena pihak luar ini memiliki kepentingan di Libya menyangkut minyak.

Soal kepentingan di belakang krisis di Timur Tengah yang menyangkut minyak juga terjadi di Sudan yang belum lama ini ”terpecah” dua menjadi Sudan utara dan Sudan selatan melalui sebuah referendum bulan lalu.

 

Kasus krisis politik di Bahrain juga menyiratkan adanya ”kepentingan dari luar” yang bermain di belakangnya. Bahrain yang kini bergejolak, seperti halnya Oman dan Yaman, adalah bagian dari Kerja Sama Ekonomi Negeri Teluk (GCC).

Ada kesepakatan di antara enam negara wilayah Teluk (Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Qatar, dan Kuwait) bahwa apabila ada salah satu negara yang terancam bahaya, ia akan dibantu oleh negara anggota GCC yang lain.

Maka tidak heran, ketika terjadi gejolak aksi massa yang mengancam penguasa Bahrain, masuklah tentara asing dari Arab Saudi ke Bahrain untuk membantu meredam gejolak.

Khusus Bahrain, masih ada sisi persoalan lain yang akan terjadi jika penguasa negeri ini terguling. Jika ini terjadi, negeri tetangga yang lain, Iran, tidak akan tinggal diam karena mayoritas masyarakat Bahrain adalah Syiah, seperti pula Iran.

Dunia pun tahu, kaum Syiah sekarang berkuasa di Iran serta di Lebanon dan Yaman. Tidak heran apabila salah satu negeri yang dikuasai Syiah ini terancam, negeri Syiah yang lain akan turun membantu.

Maka, keruwetan persoalan di Timur Tengah pun lengkap sudah. Selain ada krisis kepemimpinan, ada pula kepentingan minyak serta perbenturan kepentingan antara Syiah dan Sunni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com