Jakarta, Kompas
”Indonesia yang tidak punya PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) saja diwajibkan menyertakan sertifikat bebas kontaminasi radioaktif. Tapi, pangan yang masuk ke Indonesia dari negara- negara yang memiliki PLTN justru tak diwajibkan,” kata peneliti Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) Batan, Bunawas, di Jakarta, Senin (28/3).
Salah satu sumber cemaran zat radioaktif ialah kebocoran PLTN. Jika PLTN beroperasi baik, cemaran radiasinya hanya 1 per 100 dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Makna bebas kontaminasi zat radioaktif bukan berarti makanan benar-benar bebas zat radioaktif. Secara alamiah, setiap makanan dan minuman sudah mengandung zat radioaktif. Sertifikasi hanya untuk menunjukkan sampai dosis berapa kontaminasi zat radioaktif itu diperbolehkan dalam produk pangan.
Standar radiasi dalam bahan pangan yang diperbolehkan setiap negara berbeda-beda. Standar ini ditentukan oleh risiko paparan radiasi dan pola makan di setiap negara.
”Kasus Fukushima Daiichi menyadarkan kita akan pentingnya mengatur radiasi makanan yang masuk ke Indonesia,” kata Kepala Bidang Biomedik PTKMR- Batan Zubaidah Alatas.
PTKMR-Batan sudah melakukan sertifikasi produk ekspor sejak 1987. Selama 2010, PTKMR- Batan mengeluarkan 1.013 sertifikat kontaminasi zat radioaktif. Sertifikat itu umumnya untuk produk rempah-rempah, obat herbal, makanan kering, hingga makanan bayi.
Dalam pembahasan pekan lalu antarsejumlah lembaga terkait, disepakati untuk menggunakan standar acuan Jepang dalam menentukan batas minimal kontaminasi zat radioaktif yang diperbolehkan. Namun, untuk beberapa komoditas tertentu, standarnya diturunkan lebih kecil lagi.