Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Fukushima ke Muria...

Kompas.com - 25/03/2011, 07:26 WIB
Oleh: Ahmad Arif

KORBAN bencana gempa bumi dan tsunami yang seharusnya mendapat prioritas penanganan tersisihkan. Padahal, bencana alam kali ini merupakan salah satu yang terhebat dalam sejarah Jepang. Nyatanya, ketakutan akan ancaman bencana nuklir reaktor Fukushima Daiichi, sekitar 230 kilometer dari Tokyo, lebih menakutkan dan menyedot nyaris semua perhatian.

Kekhawatiran yang kini meliputi masyarakat Jepang bermula ketika tsunami datang pascagempa berkekuatan 9,0, 11 Maret 2011. Gempa dan tsunami menyebabkan sistem pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi gagal bekerja. Ledakan terjadi di Reaktor Unit 1 pada 12 Maret sore, disusul kebakaran di Reaktor Unit 2, 3, dan 4.

Horor merembet ke negara lain. Sebagian bergegas mengungsikan warganya dari negeri itu. Sejumlah orang kaya menyewa pesawat sendiri untuk pergi. Sekalipun tingkat kerusakan sejauh ini tidak sampai melelehkan bahan bakar nuklir, kegemparannya mengalahkan guncangan gempa 9,0.

Teknologi nuklir memang berisiko sekaligus merupakan optimisme terbesar dalam sejarah manusia, yang dengan sangat tepat digambarkan Alvin M Weinberg, ahli teknologi nuklir dan penganjur penerapan tenaga nuklir untuk maksud damai, sebagai ”The Faustian Bargain” atau ”Kontrak Faust”.

Jepang menjadi representasi ironi ”Kontrak Faust” ini. Meski menjadi satu-satunya negara yang pernah merasakan dampak paling fatal dari teknologi nuklir, yaitu bom nuklir, Jepang justru menjadi salah satu negara yang paling ekspansif menggunakan nuklir. Negara ini memiliki 54 PLTN yang memasok 30 persen kebutuhan listriknya. Jumlah reaktor ini terbanyak setelah Amerika (104 reaktor) dan Perancis (58 reaktor).

Transparansi informasi

Di tengah terpaan bencana gempa dan tsunami, Pemerintah Jepang sibuk menangani kebakaran di sejumlah reaktor Fukushima Daiichi, mengkaji dampaknya, dan mengabarkan data terbaru kepada publik. Ke-47 pemerintah prefektur di Jepang juga jungkir balik memantau kandungan radiasi di wilayah mereka, dari udara, tanah, air, hingga produk pertanian. Sementara untuk kawasan 20-30 km dari reaktor nuklir, data terus diperbarui setiap 10 menit.

Pada 21 Maret 2011, Pemerintah Jepang menyatakan, produk sayuran dan susu di empat prefektur—Ibaraki, Tochigi, Gunma, dan Fukushima—tercemar iodin-131 dan cesium-134 sehingga dilarang dipasarkan. Sehari kemudian, mereka juga menyatakan, terjadi pencemaran radiasi terhadap air laut di sekitar Fukushima Daiichi. Pada 23 Maret 2011, Pemerintah Metropolitan Tokyo menyatakan, air leding mereka tercemar iodin-131 dan tak aman dikonsumsi dalam jangka waktu lama.

Kerugian ekonomi sejauh ini belum dihitung pasti. Namun, bisa dipastikan hal itu akan berdampak luas dan jangka panjang, mengingat cesium-134 memiliki titik luruh hingga 34 tahun, sedangkan iodin-131 hanya delapan hari.

Masyarakat Jepang yang biasa patuh kepada otoritas pemerintahnya mulai dilanda krisis kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah mengatasi masalah itu. ”Banyak orang Jepang berpikir krisis nuklir ini sangat serius dan mulai meninggalkan Tokyo sekalipun pemerintah berulang kali mengatakan kebocoran radiasi tidak serius,” kata Yamamoto Nobuto, profesor ilmu politik di Keio University, Tokyo.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com