Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Pembangkit Listrik Nuklir Korea

Kompas.com - 21/03/2011, 03:24 WIB

Cuaca dingin sekitar minus empat derajat celsius dipadu dengan sinar matahari yang tak terhalang awan menjadikan pesisir Jinha dan Imnang, Korea Selatan, terasa segar, baik udara yang dihirup maupun pemandangan mata. Tidak sedikit pun menyiratkan bahwa di kawasan ini terdapat empat reaktor nuklir aktif dan empat reaktor lainnya sedang dalam masa pembangunan.

Secara de jure, status Korea Selatan masih berperang dengan Korea Utara karena masih berstatus gencatan senjata sejak tahun 1953 hingga sekarang. Namun, status itu tidak menahan negara seluas 98.480 kilometer persegi ini menunda pengayaan uranium untuk mendapatkan energi listrik murah.

Bayangan peristiwa ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir di Chernobyl pada 26 April 1986 sama sekali nihil. Kini, Korea Selatan memiliki teknologi pengayaan nuklir pada generasi keempat, yang mampu memberikan perlindungan lima lapis pada inti uranium yang menjadi pusat reaktor sehingga menekan potensi kebocoran yang memang selalu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di negara tanpa reaktor nuklir.

Nama kawasan ini adalah Kori Nuclear Power Site. Dibandingkan dengan Seoul, ibu kota Korea Selatan yang tidak memiliki reaktor nuklir, daerah di sekitar Kori jauh lebih bersih. Bahkan, kota terdekat, yakni Busan, masih lebih polutif dibandingkan dengan kawasan di sekitar Kori Nuclear Power Site. Murah dan ramah lingkungan adalah dua alasan utama Korea Selatan terus membangun reaktor-reaktor nuklir barunya.

Reaktor nuklir bisa dibilang tidak boros bahan bakar karena setiap kilogram (kg) uranium mampu menghasilkan energi listrik setara dengan energi yang dihasilkan oleh 9.000 drum bahan bakar minyak (BBM) atau 3.000 ton batu bara. Sebanyak 1 kg uranium mampu menghasilkan daya 1.000 megawatt (MW) selama satu tahun operasional.

Jadi, bandingkan dengan 1.000 MW proyek PLTU yang sedang dibangun di Jawa Tengah, yang akan berbahan baku batu bara sehingga jauh lebih boros dari minyak, apalagi nuklir.

Korea Selatan juga bersemangat membangun reaktor-reaktor baru karena biayanya paling murah dibandingkan dengan menyediakan pembangkit listrik dengan bahan bakar lain. Untuk menghasilkan 1 kilowatt hour (kWh) listrik dari sebuah reaktor nuklir hanya membutuhkan dana sebanyak 35,64 won (mata uang Korea Selatan) atau sekitar Rp 285.

Bandingkan dengan ongkos memproduksi 1 kWh listrik dari sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara yang membutuhkan 60,31 won atau Rp 482; pembangkit listrik tenaga air yang memerlukan ongkos 109,37 won atau setara dengan Rp 874; dan pembangkit listrik tenaga angin yang menuntut biaya 109,44 won atau Rp 875. Apalagi jika dibandingkan dengan biaya produksi 1 kWh dari pembangkit listrik tenaga minyak yang mencapai 145,62 won atau Rp 1.164; pembangkit listrik tenaga gas sebesar 153,06 won atau Rp 1.224; dan, yang termahal, pembangkit listrik tenaga matahari sebesar 677,38 won atau Rp 5.419.

Produksi gas karbon

Bukan hanya itu, pembangkit listrik tenaga nuklir sudah terbukti memproduksi gas karbondioksida (CO) yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan sumber energi lain. Pembangkit listrik tenaga nuklir menghasilkan emisi CO sekitar 10 gram per kWh. Hanya PLTA yang mengalahkannya, yakni 8 gram per kWh. Tiga sumber energi lain, yakni gas, minyak, dan batu bara, masing-masing memproduksi CO sebanyak 549 gram per kWh, 782 gram per kWh, dan 991 gram per kWh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com