Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara Memanggil-manggil Itu Lenyap

Kompas.com - 18/03/2011, 09:03 WIB

DI pelabuhan perikanan Ofunato yang porak poranda, jarak setiap jengkal besar artinya. Tanyakan saja kepada Masako Sawasato. Rumahnya sama sekali tak disentuh oleh tsunami raksasa yang menghancurkan pesisir timur laut Jepang menyusul gempa terkuat di negara itu.

Namun, puing-puing dari rumah para tetangga bertumpuk tinggi di kebun sayurnya, hanya beberapa jengkal dari pintu rumahnya. ”Rumah saya selamat sehingga keluarga saya bisa terus tinggal di sini. Namun, teman-teman saya sangat sulit untuk memulai kehidupan dari awal,” kata Sawasato.

Ketika bencana menimpa pada Jumat (11/3), dia sedang berkendara, tetapi segera menyadari bahwa dia memerlukan rencana penyelamatan. ”Gelombang laut ada di belakang saya dan lalu lintas macet sehingga saya keluar dari mobil dan lari,” kata ibu setengah baya itu.

Suaminya, di rumah, menyaksikan dengan kengerian saat air yang bergelora maju ke arahnya. Air itu mencapai sisi rumah mereka, tetapi menjilat hanya beberapa sentimeter sebelum air surut.

Tiga jenazah ditemukan di dekat situ, salah satunya seorang perempuan lansia, sahabat Sawasato dan yang tidak bisa melarikan diri dari gelombang yang menerjang.

Lebih dari 600 orang dibawa ke rumah sakit di Ofunato sejak bencana. Dari jumlah itu, banyak di antaranya lansia yang cedera. Namun, yang dirawat di rumah sakit itu juga termasuk mereka yang jatuh sakit di pusat evakuasi.

Warga Ofunato mempunyai sekitar 13 menit untuk menyelamatkan diri dari gelombang besar itu—waktu yang lebih panjang dibanding tempat-tempat lain yang lebih dekat dengan pusat gempa. Namun, besar dan kecepatan gelombang membuat banyak orang tak sempat lari.

Tak terdengar lagi

Ketika gempa mengguncang hari Jumat di Tagajo, Masashi Imai memeluk sekuat tenaga kursi roda di mana istrinya yang cacat duduk. Rumah mereka bergoyang-goyang. Listrik padam.

Imai menyalakan radio dan mendengar peringatan itu. Kemudian datanglah tsunami itu. Imai mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke lantai atas rumah mereka.

”Ayah! Ayah!” teriak seorang gadis dari rumah tetangganya. Banyak tetangga Imai tak bisa menyelamatkan diri karena rumah mereka hanya satu lantai. Suara gadis itu tak terdengar lagi.

Dalam gempa terkuat yang pernah tercatat di Jepang itu, garis antara hidup dan mati terbukti sangat tipis—dalam kasus Imai hanya satu lantai. Bahkan, di zona bencana di pesisir timur laut, beberapa bangunan dan lingkungan selamat, sedangkan gedung dan lingkungan lain lenyap.

Pada Jumat itu, Ayumi Osuga sedang berlatih origami dengan tiga anaknya, berusia 2 sampai 6 tahun, di rumah mereka yang satu lantai di kota pesisir Sendai. Pada pukul 14.46, bumi mulai berguncang. Cangkir dan piring jatuh dari lemari dan pecah, tetapi kerusakan tampaknya kecil saja.

Kemudian suami Osuga menelepon. ”Keluar dari situ sekarang!” teriaknya.

Karena peringatan dengan nada keras itu, pekerja pabrik berusia 24 tahun tersebut segera membawa anak-anaknya ke mobil. Osuga bergegas mengemudikan mobil ke sebuah rumah di puncak bukit milik keluarga suaminya dengan jarak 20 kilometer. Dia berhasil mengalahkan gelombang yang bergerak dengan kecepatan sebuah jumbo jet itu.

Hari Minggu, dia kembali bersama suami dan kerabatnya ke sebuah rumah yang sudah tidak ada lagi. Benda yang selamat, antara lain, hanya tiga pak popok. Dengan berlinang air mata, Osuga memasukkan popok itu ke ransel. Dia tahu dia beruntung bisa selamat. ”Keluarga saya, anak-anak saya.... Saya menyadari apa yang penting dalam hidup,” katanya.

Sementara itu, Imai, yang masih penuh emosi, berjalan bolak-balik sepanjang Sungai Sunaoshi yang mengalir melalui kota Tagajo. Sepatu botnya yang setinggi lutut menimbulkan bunyi setiap dia melangkah. Para korban selamat lain yang masih linglung menjelajahi jalan-jalan yang porak poranda.

Saat teringat tetangga-tetangganya yang lebih tua dan kemungkinan besar tewas di rumah mereka, Imai mencucurkan air mata. ”Sungai ini telah memberi kami begitu banyak, tetapi pada Jumat itu dia membawa bencana,” kata mantan pekerja hotel berusia 56 tahun itu. Beberapa hari lewat, dia masih merasa bumi berguncang. (AFP/AP/DI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com