Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simalakama Menindak Imigran Gelap

Kompas.com - 14/03/2011, 02:56 WIB

Pada tahun 2009, dalam lima bulan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menangkap 1.031 imigran gelap asal Afganistan. Dua pekan lalu 129 orang etnis Rohingya asal Myanmar terdampar di Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Indonesia menjadi tempat transit imigran dari negara-negara Timur Tengah dan Asia sebelum menuju Australia.

Tak mengherankan jika Indonesia menjadi tempat transit. Australia sebagai negara tujuan praktis dibentengi wilayah perairan Indonesia, jika menilik negara asal para imigran. Indonesia telah meratifikasi konvensi dan protokol terhadap imigran yang mengungsi dari negaranya karena alasan kemanusiaan.

Kondisi itu membuat Indonesia harus toleran terhadap imigran. Meski di sisi lain, kedatangan ribuan warga negara asing yang membutuhkan bantuan kemanusiaan itu merepotkan Indonesia dalam banyak hal. Lihat bagaimana petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan Banten harus naik-turun kapal mengecek kesehatan imigran asal Sri Lanka karena kapal mereka tak mau merapat ke pelabuhan (Kompas, 23/11/2009).

Imigran asal Sri Lanka itu takut jika kapal merapat ke pelabuhan, selanjutnya mereka ditahan pihak Imigrasi Indonesia dan dikembalikan ke negara asal. Padahal mereka jauh-jauh berlayar ke Australia, dan saat itu telah sampai Indonesia, negara terdekat dengan tujuan.

Saking seringnya menjadi tempat transit, pemangku kepentingan keamanan laut Indonesia sebenarnya tahu betul, rute utama hingga alternatif yang biasa dipakai imigran untuk menuju Australia. Sumber di intelijen TNI Angkatan Laut menuturkan, imigran asal Timur Tengah biasanya ke Malaysia dulu sebelum ke Indonesia. Malaysia menjadi tempat transit awal karena menerapkan kebijakan bebas visa bagi negara-negara Islam. Mereka pun diberangkatkan otoritas setempat menuju Indonesia.

Rute pertama dari Malaysia adalah Batam. Dari Batam mereka ke Tanjung Berakit di Pulau Bintan. Di sana mereka membuat KTP terus naik kapal Pelni ke Tanjung Priok kemudian diteruskan ke Makassar. Dari Makassar mereka menggunakan mobil menuju Bone. Masih dengan mobil yang mereka tumpangi, mereka berlayar menuju Kendari. Dari Kendari mereka menggunakan kapal rakyat menuju Kepulauan Tanimbar. Selanjutnya dengan speed boat berkekuatan 225 PK, mereka menuju ke Darwin, Australia.

Rute kedua bagi mereka yang masuk dari Negara Bagian Sabah dan Serawak (wilayah Malaysia) adalah Balikpapan, Kalimantan Timur. Dari Balikpapan, imigran gelap itu naik kapal menuju Parepare, Sulawesi Selatan. Selanjutnya mereka bergerak ke Bone kemudian ke Kendari dan dengan rute yang sama menuju Tanimbar hingga ke Darwin. Dua rute itu biasa digunakan imigran asal China.

Sementara imigran dari Pakistan dan Afganistan biasanya setelah dari Malaysia ke Pekanbaru. Di sana mereka membuat KTP. Dari Pekanbaru, mereka ke Jakarta melalui jalan darat dan ditampung di Bogor. Selanjutnya mereka menggunakan jalur pantura menuju Probolinggo atau Pasuruan. Dari Probolinggo ada dua arah, langsung ke Tanimbar atau ke Kupang untuk selanjutnya ke Darwin. Sekarang karena jalur ini sudah diketahui AL, mereka memilih jalur selatan, menuju Cilacap dan Yogyakarta.

Mengapa mereka mudah mendapatkan rute di Indonesia hingga leluasa mendapatkan KTP dan sarana transportasi? Ini tentu saja ada oknum petugas yang diduga ikut bermain.

Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo mengakui, persoalan imigran gelap itu cukup pelik. ”Imigran gelap harus didekati dari dua sisi. Pertama, adalah pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian. Kedua, kita perlu membedakan antara imigran biasa dan pengungsi atau pencari suaka. Pencari suaka ini kan ada konvensinya, kita bermain pada hukum nasional dan hukum internasional,” kata Didik.

Kepala Pusat Penyiapan Kajian Keamanan Laut Brigjen (Pol) Benny Mokalu mengaku sulit menindak imigran gelap ke Indonesia. ”Imigran tersebut memang punya hak, surat-surat (paspor) mereka lengkap. Bahkan ada yang dibekali surat dari UNHCR. Ini kan persoalan keamanan juga. Memang, ada permintaan dari Australia agar Indonesia tidak terlalu membuka keran masuk imigran ilegal itu ke negara mereka,” kata Benny.

Jika tak ditindak, ternyata tak sedikit pula dari para imigran itu menimbulkan masalah. Indonesia juga sering dituding Australia karena begitu mudah meloloskan imigran gelap ke negara mereka. Didik mengatakan, Bakorkamla tetap akan menindak mereka yang masuk ke wilayah Indonesia lewat perairan dengan cara yang tidak sah. ”Pertama sebagai kejahatan biasa, setelah itu dipilah-pilah, mana yang betul-betul pencari suaka, karena kita terikat konvensi tentang pengungsi, kemudian mana yang betul-betul imigran ilegal dengan alasan ekonomi atau alasan apa pun yang tidak sah,” ujarnya.

Dalam sejarahnya, Indonesia berpengalaman menangani imigran atau pengungsi ketika bekerja sama dengan PBB menyediakan Pulau Galang, Kepulauan Riau selama 1970 hingga 1990-an. (KHAERUDIN).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com