Kemampuan Jepang mendeteksi dini gempa sebelum melanda permukiman warga itu disampaikan Takeshi Koizumi, pejabat senior Japan Meteorological Agency (JMA), dalam diskusi di Jakarta, Senin (7/3). Diskusi terselenggara atas kerja sama Asian Disaster Reduction Center (ADRC) dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). ”Sistem deteksi dini gempa (earthquake early warning/EEW) sudah diterapkan di seluruh wilayah Jepang sejak tahun 2007,” kata Koizumi.
Menurut Koizumi, gelombang gempa punya dua jenis, yang pertama gelombang-P (preliminary tremor) dan kedua gelombang-S (strong tremor). Gelombang-S ini yang menyebabkan kerusakan bangunan.
Begitu terjadi gempa, gelombang-P biasanya menjalar 5 kilometer per detik atau hampir dua kali lipat lebih cepat daripada gelombang-S yang berkecepatan 3 km per detik. ”Dengan fokus mendeteksi gelombang-S, kami bisa mengalkulasikan kapan dan berapa daya rusak gelombang-S di suatu daerah,” katanya.
Semakin jauh lokasi daerah dari pusat gempa, informasi yang diterima bisa lebih dini, bisa sampai 10-20 detik sebelum datangnya gempa.
Selain kemajuan seismograf pendeteksi gelombang-S itu, kata Koizumi, media memegang peranan penting menyampaikan informasi agar secepatnya diterima warga secara akurat. Media itu, terutama Nippon Housou Kyoukai (NHK), yang oleh undang-undang Jepang disebutkan bertanggung jawab menyebarkan informasi soal bencana.
Deputi Direktur Pusat Informasi Bencana dan Keselamatan NHK Takeshi Tonoike mengatakan, JMA dan NHK telah bekerja sama sehingga begitu ada informasi gempa, tsunami, atau gunung meletus, langsung terinformasikan ke masyarakat luas saat itu juga. ”Begitu ada informasi bencana besar, seluruh siaran akan dihentikan untuk menginformasikan bencana,” katanya.
Selain mendapat pasokan informasi dari JMA, NHK juga memiliki 73 alat pengukur seismik yang dipasang di seluruh wilayah Jepang. NHK juga memiliki 14 helikopter sendiri untuk menyiarkan bencana.
Kepala Bidang Geofisika Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hendri Surbakti mengatakan, Indonesia saat ini sedang membangun sistem deteksi dini di Sumatera Barat. ”Kita kerja sama dengan NIED-Japan menyiapkan sistem EEW ini di Sumatera Barat,” kata dia.
Hendri menambahkan, Pemerintah Indonesia belum bisa membangun sistem tersebut untuk seluruh wilayah di Indonesia. Salah satunya terkendala biaya pengadaan yang mahal.