Namun, berbeda dengan yang menjadi kebiasaannya selama ini, kelompok garis keras Al Qaeda terkesan kuat tidak siap. Mereka tidak mampu bereaksi dengan cepat dalam menyikapi penggulingan penguasa otoriter yang telah memimpin dalam jangka panjang, seperti di Mesir dan Tunisia.
Padahal, mereka biasanya selalu ingin menyampaikan pesan-pesan mereka, bahkan saat mereka berada dalam kondisi terdesak sekalipun.
Kondisi itu tampak dalam pernyataan pemimpin nomor dua Al Qaeda, Ayman Zawahiri, yang hanya merespons kejadian di Mesir sebagai ”harapan dan kabar gembira”. Zawahiri sekaligus menegaskan kembali kewajiban menjadikan hukum syariah sebagai batu landasan setiap gerakan revolusi.
Apa yang juga dianggap tidak biasa karena pernyataan Zawahiri itu sama sekali tidak menyentuh implikasi kejadian tersebut dengan kemungkinan kebangkitan populer bagi Al Qaeda, yang selama ini menolak demokrasi dan kebebasan sipil.
”Saya tidak pernah melihat mereka sediam ini. Sepertinya mereka sedang menunggu dan melihat sambil terus merundukkan kepala. Buat saya, ini adalah kepemimpinan Al Qaeda yang paling reflektif,” ujar Jarret Brachman, mantan analis badan intelijen CIA dan pakar Al Qaeda, Rabu.
Sejumlah analis juga berpendapat, Amerika Serikat jangan terburu-buru mencoret keberadaan Al Qaeda dari daftar
”Saat rezim berubah cepat, dalam jangka pendek kondisi itu bisa menguntungkan Al Qaeda akibat ketidakstabilan dan kekosongan yang terjadi. Namun, bisa juga sebaliknya jika perubahan mendatangkan perbaikan bagi rakyat, seperti terciptanya lapangan pekerjaan baru dan pemberantasan korupsi,” ujar peneliti New American Foundation, Barak Barfi.