Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

AS Susun Proyek Timur Tengah Baru?

Kompas.com - 04/03/2011, 04:00 WIB

Pascal S Bin Saju

Saat perang saudara pecah di Libya, kapal perang AS bergerak ke Laut Tengah agar bisa memantau negara kaya minyak itu. Pendekatan AS ini berbeda dibandingkan dengan sikap AS, yang hanya sebatas orasi politik, terhadap Tunisia dan Mesir. Mengapa AS berbuat demikian?

Samira Rajab, anggota parlemen Bahrain, pada akhir Februari, saat pergolakan di Libya belum sehebat di Bahrain, menuding AS berada di balik tumbangnya rezim lama Tunisia dan Mesir.

Gelombang aksi protes di Tunisia dan Mesir memicu menjalar ke Bahrain, Jordania, Yaman, Suriah, Iran, dan Aljazair. Pekan lalu, 123 tokoh di Arab Saudi turut membuat petisi yang menuntut pergantian rezim Raja Abdullah bin Abdulaziz al-Saud (86) yang berkuasa sejak 1 Agustus 2005. ”Kerusuhan dan revolusi di Arab adalah hasil implementasi proyek AS bernama Timur Tengah Baru,” kata Samira.

Program ”Timur Tengah Baru” AS itu, kata Samira, dimulai di Irak, lalu menjalar ke Lebanon dan kini ke Afrika Utara dan Timur Tengah. ”Implementasi proyek itu akan terwujud setidaknya 10 tahun lagi, dimulai sejak 2011,” kata Samira, seperti dirilis kantor berita Rusia, RIA Novosti, 24 Februari lalu.

Istilah Timur Tengah Baru (New Middle East) diperkenalkan pertama kali pada 21 Juli 2006 oleh Menteri Luar Negeri AS saat itu, Condoleezza Rice, dalam jumpa pers di Tel Aviv, Israel.

Rice mengatakan, ”Hal yang kita lihat di Timur Tengah adalah rasa sakit yang sedang tumbuh menjelang kelahiran sebuah Timur Tengah Baru. Apa pun yang kita lakukan, kita harus yakin bahwa kita sedang mendorong kemajuan ke arah Timur Tengah Baru, tidak kembali ke pola yang lama.”

Perang di Irak dan Lebanon saat itu tampaknya dilihat sebagai sebuah ”rasa sakit menjelang kelahiran Timur Tengah Baru” (the birth pangs of a New Middle East). Rice tidak menjelaskan apa yang dia maksud dengan konsep Timur Tengah Baru dan ”lama” itu.

Namun, kemudian banyak analis mencoba menafsirkannya. Mahdi Darius Nazemroava, analis Timur Tengah dan Asia Tengah di Ottawa, Kanada, yang juga anggota Research Associate of the Center for Research on Globalization (CRG), menulis di Global Research pada 18 November 2006 bahwa ”yang lama” itu merujuk pada ”Timur Tengah Raya”.

Negara-negara yang sedang dilanda aksi protes, seperti Tunisia, Mesir, Libya, dan Bahrain, berada dalam peta proyek Timur Tengah Raya, yang muncul pada era Presiden AS George W Bush. Peta ini muncul setelah serangan 11 September 2001 di AS yang, katanya, dilakukan oleh jaringan Al Qaeda.

Rice kemudian memperkenalkan konsep Timur Tengah Baru. Ini bertepatan dengan peresmian terminal minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) di Mediterania Timur. Konsep Timur Tengah Baru didengungkan oleh Rice dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert saat pengepungan Lebanon oleh Anglo-Amerika yang dimotori Israel.

Rice dan Olmert kala itu telah memberi tahu media internasional bahwa sebuah proyek baru, Timur Tengah Baru, sedang diluncurkan dari Lebanon. Saat ini proyek tersebut sedang menjalar ke Arab.

Para analis mengatakan, proyek Timur Tengah Baru mendefinisikan kebijakan Washington di wilayah Arab dan Asia Tengah.

Munculkan oposisi

Strategi AS di Timur Tengah, kata Samira, bertujuan melemahkan rezim berkuasa dan menampilkan oposisi. Ketika gejolak di Libya berubah menjadi perang, Moammar Khadafy menegaskan bahwa Barat bertujuan menguasai minyak Libya.

Apakah ada kepentingan Barat untuk menguasai minyak? Kita tak bisa melupakan begitu saja persoalan atau pemicu gejolak. Ada empat persoalan utama, yakni kemiskinan, pengangguran atau terbatasnya lapangan pekerjaan, kenaikan harga bahan pokok, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Negara-negara yang bergejolak itu umumnya kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya miskin dan demokrasi tersumbat. Anggota Komisi I (Luar Negeri) DPR, Fayakhun Andriadi, menjelaskan, krisis di dunia Arab terjadi karena negara gagal menyejahterakan rakyat dan demokrasi tersumbat.

Dari kasus Arab kita bisa belajar, sumber daya alam tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat dipadu dengan tersumbatnya kebebasan berpolitik. Dari sana kita juga bisa belajar, pemerintahan yang otokratik akan ditumbangkan rakyat.

Sejauh untuk mencegah agar tidak jatuh korban jiwa lebih banyak, dapat dimengerti reposisi kapal perang dan pesawat militer AS ke Libya. Sejauh untuk mengawal perubahan dari rezim otokratik menuju negara demokrasi terbuka dan demi stabilitas distribusi minyak dunia, reposisi kapal perang AS bisa dimengerti.

Lepas dari itu Menlu AS Hillary R Clinton, Selasa (1/3), berbicara tentang dua kemungkinan atas Libya. ”Pada tahun-tahun mendatang, Libya akan menjadi negara demokrasi yang damai atau menghadapi perang saudara berkepanjangan,” katanya.

Barat, dengan alasan ”misi kemanusiaan”, sudah masuk ke Libya. Ini tak tertahankan meski Liga Arab menolak intervensi asing. Ini berhadapan dengan sikap Khadafy yang mau bertahan ”hingga tetes darah terakhir”. Khadafy dan putranya, Saif al-Islam, amat curiga terhadap niat AS. Apakah ini akan menimbulkan rasa sakit menuju Timur Tengah Baru?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com