Belum ada tanda- tanda krisis di Libya akan segera berakhir. Kubu oposisi tetap yakin dengan tuntutannya menjungkalkan Moammar Khadafy. Semangat kubu oposisi ini meninggi dengan adanya dukungan langsung dari komunitas internasional, khususnya AS dan sekutunya dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
”Korban tewas di seluruh pelosok Libya sudah 6.000 orang lebih,” kata juru bicara Liga HAM Libya, Ali Zeidan, kepada AFP. Sekitar 3.000 orang tewas di Tripoli, 2.000 orang di Benghazi, dan 1.000 orang di sejumlah kota di Libya. Jumlah itu merujuk pada laporan penduduk.
Menurut Ali, ada ribuan tentara bayaran yang ditempatkan di Libya, termasuk 3.000 orang di Tripoli dan 3.000 orang di luar Tripoli. Tentara bayaran itu dipimpin para perwira Chad, negara tetangga Libya. Peran tentara bayaran itu muncul sejak protes yang dilancarkan kelompok antirezim Khadafy terjadi pada 15 Februari.
Jumlah korban cedera akibat pertempuran antara kubu pro dan antirezim Khadafy juga bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah korban tewas. Orang-orang bersenjata yang berjaga di gerbang sebuah rumah sakit di kota Ajdabiya menyaksikan kedatangan para korban yang terluka.
Suasana tegang, takut, cemas, dan mengharu biru melingkupi warga di rumah sakit itu. Para korban berdatangan dari kota Brega yang menjadi titik serangan pasukan pro-Khadafy, Rabu.
Sambil bersandar di dinding aula rumah sakit Ajdabiya, dokter Abdullah Adralsir menarik napas dalam-dalam. Ia baru saja pulang dari Brega, 80 kilometer dari Ajdabiya atau 200 kilometer dari Benghazi, kota terbesar kedua setelah Tripoli.
Pasukan Khadafy dengan pesawat tempur membombardir kota pelabuhan utama dan terminal ekspor minyak Marsa El Brega (Brega) di Libya timur. Bom jatuh antara pelabuhan dan permukiman warga. Asap hitam mengepul.
Bentrokan antara massa pro dan anti-Khadafi dijawab Angkatan Udara Libya dengan membombardir kilang minyak dan kota Brega. ”Kami melihat pesawat tempur loyalis Khadafy terbang di atas Brega, kemudian bom dijatuhkan dan kepulan asap