Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anatomi Krisis Libya, Yaman, Bahrain

Kompas.com - 25/02/2011, 03:12 WIB

Azyumardi Azra

Gejolak kekuatan rakyat terus berlanjut di dunia Arab setelah tumbangnya kekuasaan otoritarianisme Presiden Ben Ali di Tunisia dan Presiden Mubarak di Mesir dalam waktu relatif singkat.

Jelas terilhami keberhasilan revolusi rakyat di kedua negara itu, kini eskalasi kekuatan massa kian meningkat di sejumlah negara Arab, khususnya di Libya, Yaman, dan Bahrain. Ekspresi gejolak kekuatan rakyat juga muncul di Aljazair, Maroko, Jordania, dan Kuwait; tetapi belum terlihat jelas di Arab Saudi, Qatar, atau Uni Emirat Arab.

Sementara kalangan, khususnya di dunia Muslim, beranggapan, gejolak kekuatan rakyat di dunia Arab sekarang ini merupakan rekayasa pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Argumen ini bisa diperdebatkan. Namun jelas, rezim-rezim otoriter yang kini menghadapi tantangan kekuatan rakyat adalah para sekutu AS. Karena itu, pada dasarnya AS berkepentingan memelihara status quo rezim-rezim tersebut. Namun, berlawanan dengan keinginan AS tersebut, kekuatan rakyat membuat AS berada dalam posisi sulit dan akhirnya terpaksa menerima perubahan rezim seperti terlihat dalam kasus Tunisia dan Mesir.

Kemuakan rakyat

Libya dengan Moammar Khadafy pernah menjadi salah satu kekuatan penting di dunia Arab. Berkuasa sejak 1969, Kolonel Khadafy sering menjadi trouble maker bukan hanya di dunia Arab, melainkan juga bagi Indonesia ketika Khadafy memberikan pelatihan militer bagi kalangan radikal Indonesia, bahkan GAM. Khadafy menjadikan Libya negara yang sangat diwaspadai dunia Arab dan dunia Muslim lain serta dunia Barat.

Titik balik Khadafy bermula dari terbuktinya peran para agennya dalam pengeboman pesawat Pan Am 103 di Lockerbie, Skotlandia, pada 21 Desember 1988, yang menewaskan seluruh 270 penumpang dan krunya.

Akibatnya, Libya menjadi negara ”pariah” yang terkucil dan terhukum sanksi internasional. Diharuskan membayar kompensasi 2,7 miliar dollar AS sejak 2002, peruntungan Khadafy terus merosot sehingga ia memilih berdamai dengan Barat. Namun, perubahan kebijakan politik ini berbarengan dengan meningkatnya kesulitan ekonomi Libya, tidak mampu menahan peragian kekuasaan Khadafy.

Meski Libya merupakan salah satu negara Arab kaya minyak, kekayaan sumber daya alam ini tidak mengalir kepada rakyat. Penghasilan minyak Libya sebagian besar masuk ke dalam pundi-pundi Khadafy dan keluarganya serta para kroninya.

Atau untuk proyek-proyek popularitas politik Khadafy sendiri, misalnya, dengan mengundang delegasi dari berbagai negara di dunia Muslim untuk pelatihan militer dan dakwah; atau untuk membangun Khadafy Center di mancanegara.

Walau produk domestik bruto (PDB) per kapita Libya kini mencapai 14.884 dollar AS, sekitar 50 persen dari total penduduk sekitar hampir 6 juta jiwa adalah di bawah usia 20 tahun, yang frustrasi melihat peluang kerja yang kian sempit karena seperlima lapangan kerja dipegang ekspatriat dari sejumlah negara. Sementara itu, hampir 10 persen penduduk Libya hidup di bawah garis kemiskinan, terutama di perkotaan yang mencapai 88 persen dari total penduduk.

Khadafy semula percaya revolusi rakyat di Tunisia dan Mesir tidak bakal menular ke negerinya. Namun, kemuakan rakyat kepada Khadafy sudah mencapai puncaknya. Pihak oposisi yang selama ini diberangus bersama kekuatan rakyat segera mendeklarasikan 17 Februari 2011 sebagai ”Hari Kemarahan”. Hari ini merupakan peringatan peristiwa anti-Khadafy pada 2006, yang dapat ditumpas orang kuat Libya ini secara sempurna. Kali ini setelah kejatuhan Mubarak, Khadafy mulai sadar, tantangan kekuatan rakyat yang bergejolak tidak bisa lagi diremehkan. Sebab itu, menjelang 17 Februari ia mengundang sejumlah aktivis politik, pemimpin media, dan LSM sembari wanti-wanti agar tidak menggalang massa melawan kekuasaannya.

Namun, rayuan dan ancaman Khadafy gagal. Keadaan kian memburuk sejak demonstrasi besar 17 Februari dan ketika Khadafy juga mulai mengerahkan tentara sewaan dari Chad dan bahkan Korea Utara untuk menembaki demonstran; jumlah mereka yang tewas sekitar 300 orang atau bahkan lebih banyak. Tindakan brutal ini mengundang kecaman dari kalangan pejabat tingi dan militer Libya yang kian banyak mengundurkan diri dan juga masyarakat internasional.

Kini bisa dipastikan terjadinya ”perang kealotan” (war of attrition) di antara Khadafy dan kaum demonstran, khususnya di Benghazi dan ibu kota Tripoli. Kekuatan rakyat yang eksplosif kian sulit dibendung Khadafy yang dalam pernyataan terakhirnya menyatakan akan terus bertahan di Libya, hidup atau mati.

Faktor Sunni-Syiah?

Meningkatnya kekuatan rakyat di Yaman juga tidak lepas dari kemuakan rakyat terhadap kekuasaan Presiden Ali Abdullah Saleh. Sejak 28 Januari rakyat memenuhi jalan-jalan di ibu kota Sanaa. Mereka menuntut pengunduran diri sang presiden yang berkuasa di Yaman Utara sejak 18 Juli 1979 dan terus menjadi Presiden Yaman Bersatu sejak 22 Mei 1990.

Presiden Ali Abdullah Saleh, mantan purnawirawan Angkatan Udara, di mata rakyatnya adalah penguasa korup. Tak kurang 45 persen dari total penduduk, sekitar 23 juta, sangat miskin dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari; dan lebih dari 35 persen penduduk menganggur. Kemiskinan dan pengangguran akut jelas sumber utama perlawanan terhadap rezim Ali Abdullah Saleh.

Faktor lain adalah friksi yang akut dalam masyarakat Yaman; di antara penduduk eks Yaman Utara dan eks Yaman Selatan. Sejak reunifikasi pada 1990, negara gagal merekonsiliasikan kedua kelompok ini. Juga ada pembelahan akut antara kaum Sunni yang merasa terpinggirkan, padahal mereka meliputi 55 persen dari total penduduk. Warga Syiah sekitar 45 persen; dan 35 persen dari total Syiah tersebut adalah Syiah Zaidiyah, termasuk Presiden Ali Abdullah Saleh. Syiah Zaidiyah sering dianggap berada di luar mainstream Syiah Dua Belas yang dominan di Iran, Irak, dan negara-negara Arab Teluk Persia.

Nuansa konflik politik Sunni versus Syiah juga terlihat dalam gelombang demonstrasi di Bahrain yang kian masif. Kekuasaan selalu berada di tangan penguasa minoritas Sunni yang kini dipegang Amir Syaikh Hamad bin Isa al-Khalifa menggantikan ayahnya, Syaikh Isa bin Salman al-Khalifa, pada 6 Maret 2010 setelah berkuasa sejak kemerdekaan pada 1971. Padahal, mayoritas penduduk adalah Syiah—sekitar 70 persen dari 600.000 jiwa penduduk. Sejak suksesnya Revolusi Ayatullah Khomeini di Iran pada 1979, kaum Syiah Bahrain terilhami bangkit, khususnya pada 1996, yang dapat ditumpas penguasa. Selain tertindas secara politik, kaum Syiah juga terpinggirkan dalam ekonomi.

Kasus Libya, Yaman, dan Bahrain sekali lagi secara jelas merefleksikan bahwa kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan politik yang berbaur dengan sentimen keagamaan menjadi sumber pokok munculnya kekuatan rakyat. Inilah cermin yang baik bagi para penguasa di negara mana pun.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com