Tripoli, ibu kota negara,
Kekerasan massa terjadi tidak lama setelah Saif tampil di televisi dan memperingatkan rakyat Libya. Saif menawarkan dialog menuju reformasi, penyelesaian krisis, dan terciptanya perdamaian di negara itu.
Saif khawatir perang saudara sudah di ambang pintu jika demonstrasi antirezim ayahnya, Khadafy, terus berlangsung. Ia menuduh kubu oposisi mengobarkan kekerasan. Jika aksi protes massal berujung pada kejatuhan ayahnya, Libya bakal berubah menjadi ”banjir darah”.
”Libya kini berada di persimpangan jalan. Jika kita tidak setuju (dialog) bagi reformasi, seluruh Libya akan berubah menjadi sungai-sungai darah,” katanya.
Saif al-Islam Khadafy (38)
Tahun lalu New York Times menjulukinya sebagai ”wajah ramah Barat dari Libya dan simbol harapan untuk reformasi dan keterbukaan”. Pria bergelar
Saif juga pernah menuding pemerintahan ayahnya itu teledor dalam menangani perpecahan dalam elite penguasa minyak di negaranya. Tuduhan itu diutarakan Saif saat mengunjungi paviliun Libya di World Expo International Exhibition 2010, Shanghai, China.
Sekalipun Saif sudah memberikan peringatan keras, ribuan demonstran antipemerintah terus melanjutkan aksi protes mereka di Tripoli, Senin. Aksi serupa juga terjadi di Benghazi, kota terbesar kedua di Libya. Bentrokan antara kelompok pengunjuk rasa antipemerintah dan aparat keamanan tidak terhindarkan.
Pemerintah Libya mengatakan, sudah 84 orang tewas selama protes dalam sepekan ini. Namun, pihak aktivis HAM menyebutkan, korban tewas sudah mencapai lebih dari 233 orang dan ratusan orang lagi terluka. Gejolak rakyat Libya ini menuntut pergantian rezim Moammar Khadafy yang sudah berkuasa selama lebih dari 41 tahun.