KOMPAS.com — Berpisah dari Sudan bagian utara sudah pasti. Tinggal menunggu hari seremoni penetapan resmi. Namun di Sudan selatan, bau anyir darah kenyataannya masih tinggal. Buktinya, sebagaimana warta AP dan AFP pada Sabtu (12/2/2011), lebih dari 100 orang tewas pascabaku tembak antara kelompok pemberontak dan militer. Para pemberontak itu adalah anak buah George Athol. "Pemberontak menyerang militer lebih dahulu," kata Juru Bicara Militer Philip Aguer.
Menurut hitung-hitungan militer, dari jumlah korban tewas tersebut terdapat 39 warga sipil. Korban lainnya di pihak pasukan keamanan Sudan selatan, sebanyak 20 orang. Adapun jumlah korban tewas dari pihak pemberontak mencapai 30 orang. "Dengan rincian tersebut, jumlah korban tewas secara keseluruhan mencapai 105 orang," kata Philip Aguer.
Dalam pertempuran, dua truk tentara meledak karena ranjau di dekat kota Fangak, Negara Bagian Jonglei. Philip Aguer menambahkan, kelompok George Athor melancarkan serangan sejak Rabu petang dan pertempuran berlanjut sampai Kamis (10/2/2011).
Sejatinya, baru setahun George Athol mengangkat senjata melawan pemerintah Sudan selatan. Athol menuding pemilihan untuk referendum penuh kecurangan. Kendati demikian, Athol meneken kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintah Sudan selatan sebulan sebelum referendum pemisahan diri dengan Sudan utara. Dia tidak menghadiri upacara penandatanganan gencatan senjata.
Sebaliknya, pihak Sudan selatan justru menuding Athol adalah "agen" pihak utara yang diperintahkan untuk bikin gara-gara sekaligus menghambat referendum. Pihak utara membantah tuduhan tersebut. Sudan selatan akan menjadi negara merdeka termuda di dunia pada 9 Juli 2011.