Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhir "Status Quo" Timur Tengah?

Kompas.com - 31/01/2011, 07:36 WIB

DIAM-DIAM dunia Barat menikmati status quo di negara-negara yang dipimpin tiran atau diktator selama kepentingan mereka dilayani dan diuntungkan. Pelanggaran hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi—yang selalu mereka tentang—dibiarkan terjadi di negara-negara itu.

Di permukaan, negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, terus menyerukan penegakan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan demokrasi. Namun, saat kesadaran akan hak-hak tersebut benar-benar bergaung di negara sestrategis Mesir, AS dan sekutunya dihadapkan pada dilema.

Demonstrasi menentang rezim Presiden Hosni Mubarak, yang dianggap otoriter, telah memasuki hari keenam. Lebih dari 100 orang tewas dalam bentrokan antara petugas keamanan dan demonstran di seluruh Mesir.

AS harus membuat pilihan sulit, mendukung perjuangan demokrasi demonstran atau membela sekutu kuncinya selama 30 tahun. Beberapa hari terakhir, Presiden AS Barack Obama telah mengeluarkan pernyataan keras yang mendesak Mubarak segera melakukan reformasi politik dan ekonomi serta menghentikan kekerasan terhadap demonstran.

Namun, AS juga terlihat hati-hati menentukan sikap terhadap Mubarak. Sebab, setiap indikasi meninggalkan Mubarak akan menimbulkan risiko yang tidak kecil bagi AS dan sekutu-sekutunya di Eropa.

Mesir adalah sekutu AS paling penting di Timur Tengah. Di bawah Presiden Anwar Sadat, Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David, AS.

Bagi Israel, perjanjian damai dengan Mesir itu sangat besar artinya. Di satu sisi Israel tak perlu lagi risau akan risiko perang dengan Mesir, seperti pada 1948, 1956, 1967, dan 1973.

Di sisi lain, Mesir juga menjadi satu-satunya jembatan bagi Israel untuk berdialog dengan dunia Arab dan berperan besar dalam membatasi ruang gerak kelompok garis keras Hamas di Jalur Gaza.

Itu sebabnya, dalam pernyataan publik pertama sejak krisis Mesir pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu (30/1), menekankan pentingnya menjaga perdamaian dengan Mesir dan bagaimana mengembalikan stabilitas dan keamanan di kawasan itu.

”Mimpi terburuk geopolitik bagi Israel adalah ada negara Arab berpenduduk terbesar dalam kondisi instabilitas politik berada tepat di depan pintu. Ini mengubah seluruh perimbangan kekuatan di Timur Tengah,” tuturnya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com