Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solusi Dua Sudan

Kompas.com - 31/01/2011, 03:08 WIB

Ibnu Burdah

Lahirnya negara baru Sudan selatan tampaknya sudah tak terbendung lagi. Penghitungan sementara hasil referendum menunjukkan kecenderungan kemenangan pihak prokemerdekaan (infishal).

Meski pengumuman resmi masih pertengahan Februari, Pemerintah Sudan Utara sudah menunjukkan gelagat baik akan menerima keputusan rakyat Sudan selatan. Negara Arab dan Afrika terbesar secara geografis itu hampir pasti terbelah menjadi dua negara, yakni utara dan selatan. Mayoritas penduduk utara adalah Muslim etnis Arab-Nubian, sedangkan selatan Kristiani dan Animis beretnis Afrika.

Jalan terbaik

Pemisahan Sudan selatan adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang mendera kedua Sudan selama setengah abad lebih. Kesatuan sebuah negara tentu amat penting dipelihara dan dibela. Meski demikian, hal itu bukanlah segalanya. Negara bukan berhala yang selalu meminta pengorbanan darah dan nyawa anak bangsanya.

Tujuan pendirian sebuah negara adalah untuk kesejahteraan anak bangsanya. Oleh karena itu, kesatuan negara Sudan tentunya tidak harus dipertahankan secara paksa dengan mengorbankan ratusan ribu nyawa tak berdosa dan penderitaan panjang rakyat.

Nyawa adalah karya Tuhan. Hilang satu nyawa berarti kerugian yang tak ternilai harganya. Bahkan, seluruh hasil peradaban sepanjang zaman belum sebanding dengan nilai satu nyawa. Karena itu, nyawa menurut Badruddin Hassun adalah sakral, suci. Siapa pun tidak berhak mengambilnya kecuali Yang Mampu Membuatnya. Terwujudnya dua Sudan apabila bertujuan untuk menghindari lebih banyak lagi nyawa melayang adalah kemenangan besar kemanusiaan.

Sejak awal, penggabungan dua Sudan memang dipaksakan. Meski ada begitu banyak perbedaan yang secara geografis terkonsentrasi di wilayah berbeda, pihak eksternal memaksakan penggabungan keduanya. Rakyat Sudan sendiri sejak semula merasa berkeberatan. Bukan karena mereka picik dan tidak siap bersanding dengan orang yang berbeda, melainkan lebih karena itu bukan kehendak mereka.

Memang kebersamaan itu telah berlangsung hampir enam dekade dan usaha-usaha untuk mengatasi perbedaan pun terus diupayakan. Namun, kebersamaan yang panjang itu justru menunjukkan bahwa mereka sebaiknya cukup bertetangga saja, bukan hidup bersama dalam satu ”rumah tangga” negara.

Sekali lagi, ini bukan karena mereka miskin kearifan. Mereka adalah korban pemaksaan politik dan ambisi kekuasaan sebagian pemimpin yang berdampak terhadap kompleksitas masalah dan amat merugikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com