Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyaksikan Luka Lama Australia

Kompas.com - 30/01/2011, 03:55 WIB

Budi Suwarna dan Lusiana Indriasari 

Kisah pahit orang Aborigin adalah lembaran kelam politik Australia. Kisah pahit itu bisa kita saksikan lewat sejumlah film yang diputar dalam ”Australia on Screen 2011” atau Festival Film Australia, pekan lalu di Jakarta. Mari kita tengok film Radiance yang diproduksi tahun 1997. Film itu berkisah tentang tiga perempuan—kakak beradik—keturunan Aborigin. Mereka tinggal terpisah dan masing-masing mempunyai kehidupan sendiri.

Cressy (Deborah Mailman), si anak tertua, adalah seorang penyanyi opera terkenal. Mae, anak kedua, seorang perawat yang setia merawat sang ibu hingga meninggal. Nona, si bungsu, adalah perempuan pemimpi yang jiwanya terombang-ambing dan kehilangan indentitas. Kematian sang bunda memaksa ketiganya kembali berkumpul untuk menghadiri upacara pemakaman. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masa kecil. Buat Cressy dan Mae, setiap bagian rumah itu memaksa mereka mengingat kembali kisah masa lalu yang pahit.

Lewat pergulatan batin yang hebat, Cressy dan Mae akhirnya membuka rahasia lama yang sudah lama dikubur dalam-dalam. Mae, yang begitu dekat dengan sang bunda, ternyata membenci ibunya karena sepanjang hidupnya dia merasa disia-siakan.

Sementara itu, Cressy, yang sejak kecil dititipkan di panti asuhan, mengaku pernah diperkosa seorang kulit putih yang menjadi pacar ibunya hingga hamil. Dan anak yang dia kandung adalah Nona. Rahasia yang terbuka ini membuat perasaan ketiganya hancur. Nona ingin bunuh diri karena kaget tiba-tiba harus memanggil mama pada Cressy. Cressy dan Mae membakar rumah masa kecilnya untuk menghapus pengalaman pahit mereka.

Namun, pada akhirnya ketiganya menyadari bagaimanapun mereka punya hubungan darah. Dan satu-satunya harta yang mereka miliki adalah keluarga. Akhirnya, mereka berdamai dengan kemarahan mereka dan masa lalu yang pahit.

Film karya Rachel Perkins, sutradara berdarah Aborigin ini, di sana-sini mengungkap kisah pahit yang biasa dialami orang Aborigin mulai perlakuan tanpa hormat hingga perampasan tanah oleh warga kulit putih. 

Generasi terampas

Kisah pahit Aborigin antara lain buah dari kebijakan asimiliasi yang dilakukan ”pemerintah kulit putih” pada tahun 1910-an hingga 1970-an. Pada periode itu ratusan ribu anak Aborigin dirampas dari orangtua dan komunitas mereka untuk diasuh di panti asuhan seperti yang dialami Cressy.

Di sana mereka dilatih untuk menjadi orang ”kulit putih” sambil melupakan identitasnya sebagai orang Aborigin. Mereka inilah yang disebut stolen generations, generasi yang terampas. Setelah puluhan tahun pasca kebijakan asimilasi itu, saling curiga dan prasangka rasial di antara Aborigin dan kulit putih masih terjadi. Ini bisa kita tangkap dalam film Jindabye (2006). Film ini berkisah tentang empat orang kulit putih yang menemukan mayat seorang gadis Aborigin korban pemerkosaan.

Mereka tidak mau acara memancingnya terganggu sehingga menunda melaporkan kejadian itu pada polisi hingga beberapa hari. Keberadaan mayat itu akhirnya diketahui polisi. Kasus terungkap dan keluarga korban marah besar atas sikap para pemancing yang tidak segera melaporkan penemuan mayat, hanya karena mayat itu gadis Aborigin. Mereka kemudian meneror keluarga keempat pemancing itu.

Claire, istri salah seorang pemancing, berusaha meminta maaf pada keluarga Aborigin dan menggalang dana untuk pemakaman korban. Namun, maksud baiknya malah ditanggapi berbeda. Dia diusir orang-orang Aborigin yang telanjur berprasangka semua orang kulit putih jahat. Di sisi lain, Claire dimusuhi orang kulit putih lainnya karena dianggap tidak mendukung suaminya.

Dampak kebijakan ”asimilasi” itu memang jadi kerikil dalam hubungan orang Aborigin dan kulit putih selama bertahun-tahun. Untuk mengakhiri situasi ini, Pemerintah Australia, di masa pemerintahan PM Kevin Rudd, pada tahun 2008 meminta maaf secara resmi dan terbuka kepada orang Aborigin. Inilah permintaan maaf pertama kali kepada orang Aborigin. Selanjutnya, semangat rekonsiliasi pun digulirkan.

Semangat rekonsiliasi ini bisa kita tangkap dalam film Bran Nue Dae (baca: brand new day) yang diputar sebagai film pembuka ”Australia on Screen.” Film yang dirilis di Australia tahun 2010 itu bercerita tentang persahabatan orang Aborigin dan kulit putih.

Robyn Kershaw, yang memproduksi Bran Nue Dae bersama Graeme Isaac, mengatakan, film ini ingin menunjukkan bahwa hubungan orang Aborigin dan kulit putih tidak selamanya buruk. ”Banyak sisi baik dalam hubungan keduanya. Soal rasisme itu tidak hanya terjadi di Australia,” ujarnya.

Ketiga film yang berkisah tentang Aborigin di festival ini adalah pengakuan jujur atas lembaran hitam dalam sejarah bangsa Australia. Mengakui dengan jujur kesalahan masa lalu dan melakukan rekonsiliasi memerlukan memang kebesaran jiwa. (Umi Kulsum, Litbang)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com