Sejak tahun 1999 hingga kini, Rusia telah mengalami 18 kali pengeboman. Pada Februari 2004, bom bunuh diri di jalur kereta bawah tanah (metro) Zamoskvoretskaya, yang menghubungkan bandara-bandara utama, menewaskan 40 orang. Pengeboman terakhir, Maret 2010, dua teroris meledakkan diri di Stasiun Lubyanka and Park Kultury, menewaskan 35 orang.
Pengeboman di Rusia pada umumnya dikaitkan dengan perjuangan Chechnya. Belakangan pengeboman dikaitkan dengan kawasan Kaukasus Utara lainnya, seperti Dagestan dan Ingushetia, yang sering diasosiasikan sebagai gerakan separatisme dengan menggunakan idiom agama.
Sikap Pemerintah Rusia tecermin dalam pernyataan bersama Rusia-ASEAN di Hanoi pada KTT ASEAN XVII: ”Rusia berpendapat bahwa terorisme tidak boleh diasosiasikan dengan agama, negara, peradaban, atau kelompok etnis tertentu.”
Pengeboman kereta bawah tanah di Moskwa tahun lalu dinilai sebagai aksi balas dendam atas terbunuhnya dua pemimpin pemberontak di Kaukasus Utara: Said Buryatsky dan Saif Islam. Untuk pengeboman di Bandara Domodedovo yang baru saja terjadi, ada yang beranggapan ini sebagai aksi balas dendam atas dugaan tewasnya Doku Umarov, pemimpin pemberontak yang paling senior saat ini.
Umarov pernah mendeklarasikan tekadnya menyerang kota-kota di Rusia pada tahun 2008. Ada juga yang menduga bahwa pengeboman kali ini adalah aksi balas dendam atas kesuksesan aparat keamanan Rusia menewaskan Magomedali Vagabov, salah satu arsitek pengeboman kereta bawah tanah di Moskwa tahun 2010. Vagabov adalah orang kedua dalam kepemimpinan mereka setelah Doku Umarov.
Rupa-rupa modus operandi telah dilakukan oleh para pengebom tersebut. Pernah ada masa ketika mereka mengebom kereta api. Pernah ada riwayat mereka menyandera anak-anak sekolah yang tidak berdosa. Pernah juga mereka menyandera para penonton di sebuah teater konser.
Kisah-kisah pengeboman tersebut jelas menunjukkan bahwa mereka menggunakan prinsip aksi teatrikal, kegiatan yang dimaksudkan untuk menarik perhatian umum.