Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Roboh seperti Teori Domino

Kompas.com - 23/01/2011, 03:56 WIB

Musthafa Abd Rahman

Tumbangnya rezim kuat di Tunisia, Ben Ali, dalam waktu singkat terus menjadi buah bibir penduduk biasa, pengamat, dan media massa seantero dunia Arab. Pertanyaan yang terus mengusik opini umum dunia Arab saat ini adalah apakah peristiwa Tunisia itu bisa seperti teori domino bagi negara Arab lain? 

Faktor-faktor yang menjatuhkan rezim Ben Ali di Tunisia juga terdapat di negara Arab lain. Bahkan, kondisi sosial, ekonomi, dan politik pada banyak negara Arab lebih parah jika dibandingkan dengan Tunisia.

Betapa rakyat di negara-negara Arab kini sangat menginginkan perubahan dengan segera menyusul Tunisia. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pemuda Arab yang kini meniru-niru tindakan seorang pedagang asongan Tunisia, Mohamed Bouazizi, yang bunuh diri dengan membakar diri pada 17 Desember lalu, ketika polisi menyita dagangannya berupa buah dan sayur yang menjadi satu-satunya gantungan hidup.

Aksi seorang warga kecil bernama Bouazizi itu, yang ternyata bisa menjatuhkan rezim kuat Zine al-Abidine Ben Ali, membangkitkan lagi semangat rakyat dunia Arab untuk melakukan perubahan di negaranya masing-masing.

Selama ini rakyat dunia Arab dihinggapi kebingungan, bahkan rasa putus asa mencari pintu menuju perubahan di tengah tertutupnya semua jalur politik serta penerapan sistem keamanan dan intelijen yang superketat hingga serta-merta menjelma menjadi negara polisi.

Sistem multipartai yang diterapkan di dunia Arab pun ibarat lipstik saja. Partai pemerintah yang berkuasa memonopoli kehidupan politik dan partai-partai oposisi praktis lumpuh.

Kini semacam tumbuh kesadaran bahwa perjuangan rakyat biasa ternyata bisa menggulingkan rezim diktator kuat. Tunisia adalah sebuah contoh kasus. Gerakan rakyat tanpa payung partai dan tokoh sentral yang sarat ideologi bisa sukses mengobarkan intifada atau revolusi. Hal itu baru pertama kali terjadi di dunia Arab.

Sebelum ini semua gerakan intifada dan revolusi di dunia Arab dan Timur Tengah selalu digerakkan oleh partai, militer, atau tokoh yang mengusung ideologi tertentu, baik nasionalis, kiri (sosialis), maupun Islam (kanan). Lihat revolusi Mesir tahun 1952 yang digerakkan militer, revolusi Libya tahun 1969 oleh militer, revolusi Iran tahun 1979 yang digerakkan tokoh ulama Ayatollah Imam Khomeini, dan intifada Sudan tahun 1985 oleh militer.

Maka, kini muncullah Bouazizi-Bouazizi lain di sejumlah negara Arab. Di Mesir, misalnya, sudah terdapat tujuh kasus upaya percobaan bunuh diri dengan cara membakar diri.

Di Aljazair, sedikitnya ada delapan kasus percobaan bunuh diri dengan cara membakar diri. Di Mauritania juga terdapat sejumlah kasus percobaan bunuh diri.

Meskipun Bouazizi-Bouazizi di Mesir, Aljazair, dan Mauritania tidak seberhasil Bouazizi di Tunisia, sudah cukup sebagai pesan tentang betapa rakyat dunia Arab ingin perubahan di negaranya masing-masing.

Karena itu, peristiwa Tunisia akan terus menjadi inspirator bagi rakyat dunia Arab yang pada gilirannya semakin menyuburkan gerakan protes massal rakyat terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di seantero dunia Arab.

Betapa buruknya kondisi sosial ekonomi sejumlah negara Arab bisa dilihat dari laporan badan pusat statistik dan ikatan sarjana psikologi di sejumlah negara Arab itu.

Di Mesir tercatat ada 6,5 kasus bunuh diri dari setiap 100.000 penduduk atau terdapat 2.200 kasus bunuh diri setiap tahun. Menurut Badan Pusat Statistik Mesir, tercatat ada 104.000 kasus percobaan bunuh diri pada tahun 2009. Mesir memiliki kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri terbesar di dunia Arab.

Di Aljazair, menurut laporan ikatan sarjana psikologi Aljazair, terdapat 10.000 kasus percobaan bunuh diri setiap tahun. Menurut hasil penelitian Badan Kajian Medis Aljazair, dalam kurun waktu tahun 1995 hingga 2003 minimal terdapat seorang yang melakukan percobaan bunuh diri setiap 12 jam.

Di Tunisia, menurut laporan ikatan sarjana psikologi Tunisia, tahun 2005 terdapat seorang dalam setiap 1.000 penduduk Tunisia yang melakukan percobaan bunuh diri setiap tahun atau sekitar 10.000 kasus percobaan bunuh diri setiap tahun. Kemiskinan, pengangguran, dan rasa putus asa merupakan faktor utama tingginya jumlah kasus bunuh diri atau upaya percobaan bunuh diri di dunia Arab.

Kasus Tunisia dan munculnya fenomena Bouazizi di sejumlah negara Arab saat ini membuat tidak ada pilihan lain bagi pemerintah maupun partai-partai oposisi di dunia Arab untuk mengadopsi isu-isu riil seperti hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan warga negara, dan keadilan sosial dalam kebijakannnya.

Jika pemerintah negara-negara Arab atau partai penguasa tak segera mengevaluasi diri dengan cara mengadopsi isu-isu riil itu secara konsisten, cepat atau lambat akan bernasib seperti rezim Ben Ali di Tunisia. Demikian juga bila partai-partai oposisi tidak mengusung isu-isu riil dalam programnya, partai-partai itu tidak akan laku dan sulit meraih popularitas.

Satu hal lagi yang bisa diambil pelajaran dari kasus Tunisia adalah posisi institusi militer di dunia Arab. Tradisi institusi militer di dunia Arab selama ini adalah selalu menjadi bumper rezim yang berkuasa atau kekuatan rezim penguasa berada di militer. Fenomena itu terjadi di Mesir, Yaman, Suriah, Libya, Mauritania, Aljazair, dan Sudan.

Di Tunisia ternyata berbeda. Institusi militer justru memiliki hubungan kurang harmonis dengan rezim penguasa. Akan tetapi, posisi institusi militer Tunisia yang relatif independen itu justru menjadi kekuatannya dan lebih menjelma sebagai penyelamat negara serta untuk kepentingan rakyat.

Hal itu bisa terlihat ketika muncul krisis serius di Tunisia dimana militer lebih tampil sebagai penyelamat negara dan rakyat daripada rezim. Sikap militer itu ditunjukkan ketika kepala staf angkatan bersenjata Tunisia Jenderal Rachid Ammar menolak perintah Presiden Zein Ben Ali untuk menembaki para pengunjuk rasa. Bahkan, Jenderal Rachid Ammar yang memberi ultimatum kepada Ben Ali untuk segera meninggalkan Tunisia atau membiarkan Tunisia semakin bertumpah darah dan tidak ada jaminan keselamatan bagi Ben Ali dan keluarganya. Sikap institusi militer Tunisia itu kini membuat citranya harum di mata rakyat Tunisia dan dunia Arab. 

Jika militer di dunia Arab bisa tampil seperti militer di Tunisia, niscaya bisa diharapkan ada proses pergantian kekuasaan lebih damai dan gerakan massa di Tunisia, yang membawa kerugian besar baik jiwa maupun ekonomi, bisa tidak terulang lagi di negara Arab lain.

Kerugian Tunisia sejak maraknya gerakan massa pada pertengahan Desember 2010 lalu ditaksir mencapai sekitar 2 miliar dollar AS dan jatuh korban tewas lebih dari 100 orang.

Namun, bila posisi militer dan rezim penguasa di dunia Arab tetap tidak ada jarak dan malah menjadi penghambat demokrasi, kasus Tunisia cepat atau lambat akan merembet ke negara Arab lain, yakni rakyat sendiri yang akan menjatuhkan rezim penguasa yang tak mau turun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com