Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak La Nina dan Badai Australia

Kompas.com - 10/01/2011, 04:20 WIB

 Yuni Ikawati

Anomali cuaca di Australia mengagetkan banyak pihak. Salju dan hujan lebat yang melanda kawasan timur Australia terjadi justru saat musim panas di Benua Kanguru itu. Meski telah terkena dampak La Nina sejak April 2010, Indonesia juga mulai terkena imbas anomali cuaca di negara tetangga ini.

Cuaca ekstrem terburuk yang melanda Australia dalam sebulan terakhir ini memang mencengangkan. Hujan salju pada pertengahan Desember lalu muncul saat Benua Kanguru ini normalnya mengalami musim panas. Pasalnya, saat itu posisi Matahari sedang berada di selatan garis Khatulistiwa.

Hujan lebat di Australia merupakan dampak dari menghangatnya suhu permukaan laut sekitar benua ini, yaitu di barat dan utara (Samudra Hindia) serta timur (Samudra Pasifik Selatan).

”Anomali cuaca yang menimbulkan curah hujan yang ekstrem ini terburuk dalam 50 tahun terakhir,” ucap R Dwi Susanto, pakar iklim dari Lamont Doherty Earth Observatory of Columbia University, New York, Amerika Serikat.

Hujan lebat di Australia terjadi akibat munculnya suhu muka laut yang hangat di Samudra Pasifik disebut fenomena La Nina dan di timur Samudra Hindia dinamai Dipole Mode Negatif. Karena itu, hal yang sama juga dialami Indonesia, yang berada di antara dua samudra itu. Dari timur, massa air panas dari Pasifik dibawa ke wilayah Nusantara oleh Arus Lintas Indonesia. ”Dengan kondisi La Nina seperti ini, Indonesia akan mengalami curah hujan di atas normal,” ujar Dwi yang sebelumnya sebagai peneliti iklim di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Berdasarkan hasil analisis dari Pusat Riset Iklim di Columbia University, New York, 94 persen probabilitas La Nina akan berlanjut hingga Maret 2011. ”Selama anomali cuaca terjadi, wilayah Jawa dan Kalimantan yang terutama yang akan mengalami hujan di atas normal,” tutur Dwi. Namun, ia memperkirakan curah hujan di atas normal berpeluang terjadi hingga Juni. Karena itu, masyarakat harus waspada dengan banjir, tanah longsor, dan penyebaran penyakit, seperti malaria dan demam berdarah.

Dampak negatif

Menghangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia dan Australia menimbulkan zona konvergensi di kawasan Queensland, hingga terbentuk siklon tropis di Teluk Karpentaria. Bibit badai ini mulai tampak dua minggu sebelum mencapai pusaran terbesar. ”Diameternya sekitar 6.000 kilometer, terbentang dari barat hingga selatan Australia. Kondisi inilah yang menimbulkan hujan lebat di Queensland,” papar Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. ”Siklon tropis bergerak dari timur hingga meluruh di barat Australia,” ucapnya.

Gangguan cuaca ini jelas telah memberikan dampak negatif bagi daerah di selatan Indonesia, terutama Pulau Jawa. Salah satunya adalah curah hujan yang mencapai 167 milimeter di Cilacap. Padahal, curah hujan dikatakan normal jika air hujan yang tertampung di tabung penakar mencapai tinggi 50 milimeter dalam sehari.

Ancaman hujan lebat akibat badai di utara Australia ini berpeluang terjadi lagi hingga Februari 2011. Selama suhu laut menghangat, akan terbentuk pusat tekanan rendah hingga menjadi badai di wilayah itu. Potensi imbasnya terhadap Indonesia, yaitu angin kencang dan hujan lebat, makin besar karena ekor badai cenderung memanjang akibat pemanasan global.

Merugikan perikanan

Masuknya massa air laut yang hangat dari Samudra Pasifik ke wilayah Indonesia melalui perairan di Maluku dan Sulawesi telah menimbulkan dampak negatif bagi biota laut, ”Terutama ikan, terumbu karang, dan rumput laut,” kata Nani Hendiarti, Kepala Bidang Teknologi Sistem Pemodelan Sumberdaya Alam BPPT.

Nani yang menamatkan S-3 bidang penginderaan jauh (Inderaja) kelautan di Universitas Rostock Jerman pernah menerapkan teknik Inderaja guna mengetahui distribusi fitoplankton di Selat Sunda saat terjadi La Nina.

Saat suhu laut mendingin, arus laut berinteraksi dengan udara di atmosfer memunculkan proses upwelling atau naiknya massa laut ke permukaan. Di daerah upwelling inilah terkumpul beragam nutrien berupa fitoplankton. ”Karena itu, ikan juga akan naik ke permukaan laut menuju sumber nutrien itu,” papar Nani yang pernah menjadi kepala tim peneliti aplikasi teknologi Inderaja untuk perikanan dan pertanian.

Kondisi sebaliknya terjadi ketika La Nina dan Dipole Mode Negatif.

Hangatnya suhu muka laut juga mengakibatkan tak terbentuknya upwelling. Maka, ikan pun tidak naik ke permukaan. Ikan tuna yang normalnya bergerak pada kedalaman 75 meter, ketika suhu laut menghangat, turun hingga 125 meter di bawah permukaan laut.

Saat La Nina memang tidak menguntungkan dari aspek perikanan karena para nelayan pun tidak dapat melaut akibat kondisi gelombang laut yang tinggi dan berangin kencang.

Kenaikan suhu air laut menyebabkan tumbuhnya bibit penyakit ice-ice berupa bintik-bintik atau bercak putih pada rumput laut. Namun, hal ini dapat diatasi dengan menurunkan lebih dalam posisi rumput laut yang dibudidaya di perairan.

Matinya terumbu karang juga terjadi di pesisir saat La Nina. Terumbu karang akan memutih atau disebut bleaching. ”Pemulihan kondisi ini lebih cepat terjadi di kawasan timur Indonesia karena sirkulasi air laut dari Pasifik melintasi Indonesia berlangsung cepat,” ungkap Nani. Akan tetapi, tidak demikian dengan sirkulasi di kawasan barat. Namun, kenaikan suhu massa laut ketika terjadi Dipole Mode Negatif di Samudra Hindia relatif lebih dingin dibandingkan dengan dari Pasifik.

Soal kejadian penyimpangan cuaca, baik Edvin maupun Nani berkeyakinan hal itu merupakan dampak pemanasan global atau perubahan iklim. ”Periode La Nina yang berlangsung hingga hampir setahun ini tak pernah terjadi sebelumnya. Periode terlama selama ini lima bulan,” urai Nani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com