Satu kali pernah, ujarnya, salah seorang guru sekolahnya melempar isu. Tak satu pun buku di dunia ini yang sempurna. Muqtida kecil lalu bertanya, apakah itu artinya juga termasuk kitab suci?
Pertanyaan itu lalu oleh sang guru dikembangkan menjadi sebuah diskusi yang produktif soal agama.
”Akan tetapi, jangan harap hal serupa sekarang bisa terjadi. Apalagi jika seseorang bisa kapan pun dan di mana saja menembakmu di luar sana karena bertanya atau berdiskusi seperti itu,” ujar Muqtida.
Muqtida mengacu pada pembunuhan sadis yang baru saja terjadi awal pekan lalu. Pembunuhan brutal yang menimpa tokoh politik moderat Pakistan, juga Gubernur Punjab, Salman Taseer (66). Akibat kejadian itu, banyak kalangan merasa Pakistan saat ini tengah berada di tepi jurang perpecahan.
Pembunuhan Taseer adalah pembunuhan terhadap tokoh high profile kedua yang terjadi di sana setelah kejadian serupa menimpa mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto, 27 Desember dua tahun lalu.
Taseer diberondong 29 butir peluru mematikan, yang dimuntahkan dari sepucuk senjata oleh pengawal pribadinya, seorang anggota pasukan elite kepolisian Pakistan, Malik Mumtaz Hussein Qadri. Peluru menghunjam hampir di seluruh bagian tubuh Taseer.
Pembunuhan brutal nan sadis seperti itu tentu saja juga sekaligus mengirimkan sebuah pesan mengerikan yang sangat jelas dan kuat kepada seluruh rakyat Pakistan, terutama kepada mereka yang masih mencoba bersikap moderat dan toleran, seperti juga sejak awal dicita-citakan para pendiri negeri itu.
Pembunuhan Taseer mengirimkan sebuah pesan yang jelas dan mengerikan, kelompok radikal dan para pendukungnya bisa melakukan apa saja demi mempertahankan pandangan mereka, terutama jika ada pihak, kelompok, atau orang tertentu yang mereka nilai telah menodai agama dan simbol-simbolnya.
Pembunuhan oleh Qadri memang sekaligus juga semakin ”memberi angin” kepada para kelompok dan tokoh radikal di negeri itu. Mereka seolah-olah menunjukkan mampu berbuat apa saja dan kepada siapa saja, yang dianggap menghalangi keyakinan mereka.