Abyei adalah daerah penghasil minyak terbesar di Sudan tengah. Sudan, negara berpenduduk 31,7 juta jiwa, termasuk produsen minyak terbesar ketiga di Afrika dengan Abyei sebagai pemasok utamanya. Selama ini utara dan selatan masing-masing mengklaim wilayah Abyei dan kandungan minyak di dalamnya.
Tidak hanya itu, Abyei adalah penghasil ternak utama Sudan karena didukung hamparan padang penggembalaan yang luas dan kaya sumber pakan ternak. Selama berabad-abad, wilayah ini dihuni suku Ngok Dinka yang hidup sebagai petani penggarap lahan dan peternak serta suku Missirya, penggembala yang suka berkelana.
Abyei terbelah, sebagian berada di teritori Sudan utara dan sebagian lainnya menghampar di Sudan selatan. Mayoritas kaum Missirya (Missiri) hidup di utara dan memeluk Islam. Ngok Dinka hidup di selatan dan menganut Kristen. Abyei lalu dijuluki ”titian sejarah” antara utara yang mayoritas Muslim dan selatan yang Kristen.
Mengacu pada protokol 2004 terkait penyelesaian konflik Abyei dalam Comprehensive Peace Agreement yang mengakhiri perang saudara, antara utara dan selatan, pada tahun 2005, Abyei diberikan ”status administratif khusus”. Namun, kini Abyei menjadi kendala serius bagi suksesnya referendum nasional yang dijadwalkan pada 9 Januari ini demi menentukan masa depan Sudan selatan.
Dalam perjanjian damai
Dalam lima tahun terakhir pascaperjanjian damai diteken, Abyei ”relatif tenang”, tidak seheboh kekerasan di Darfur, Sudan barat. Namun, sejak November-Desember lalu, setelah referendum Abyei ditunda, kekerasan mulai muncul ditandai adanya serangan udara.
Referendum Abyei tertunda karena otoritas selatan yang diwakili Sudan People’s Liberation Movement dan sekutunya, suku Ngok Dinka, berselisih dengan partai berkuasa National Congress Party dan sekutunya, suku Missirya, soal siapa yang boleh memilih. Suku Ngok Dinka ataukah Missirya yang berhak. Selatan dan utara sama-sama khawatir kehilangan Abyei.
Tertundanya referendum