Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Api Konflik Sudan di Abyei

Kompas.com - 06/01/2011, 04:03 WIB

khartoum, rabu - Referendum per 9 Januari ini bagi Sudan selatan, memilih tetap bersatu atau berpisah menjadi negara otonom, tak otomatis bisa mengakhiri konflik. Selama sengketa atas wilayah perbatasan di Abyei yang kaya minyak belum final, titik api ini bisa menyulut perang saudara.

Kantor berita AFP, Rabu (5/1), melaporkan, daerah sengketa Abyei dapat memicu konflik baru sebab referendum mengenai status masa depannya telah ditangguhkan. Seharusnya referendum Sudan selatan dan Abyei digelar serempak pada 9 Januari ini.

Perjanjian damai utara dan selatan untuk mengakhiri perang saudara selama 22 tahun di tahun 2005 sudah mengisyaratkan hal itu. Dua referendum harus digelar serempak enam tahun pascaperjanjian damai. Referendum Sudan selatan digelar pada Minggu (9/1), tetapi Abyei ditunda.

Referendum Sudan selatan untuk menentukan apakah warganya memilih tetap bersatu dengan utara dalam wadah negara kesatuan atau merdeka menjadi negara otonom. Referendum di Abyei untuk memilih apakah mereka bergabung dengan wilayah utara atau selatan.

Tertundanya pelaksanaan referendum di wilayah Abyei menyimpan problem baru. Merdeka atau tidak, utara dan selatan akan tetap terlibat dalam sengketa wilayah Abyei yang dikenal sebagai padang penggembalaan yang luas dan kaya akan minyak bumi.

Referendum di Abyei tertunda karena otoritas selatan yang diwakili Sudan People’s Liberation Movement (SPLM) dan sekutunya suku Dinka Ngok masih berselisih dengan partai berkuasa, National Congress Party (NCP), terkait dengan siapa boleh ikut memilih. Abyei sebagai daerah penghasil minyak terbesar Sudan terbagi dua, sebagian masuk utara dan sebagian lagi di selatan, menjadi titik konflik keduanya.

Mahkamah Internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, sebenarnya telah menetapkan batas-batas baru wilayah Abyei yang dipersengketakan itu. Mahkamah mengukuhkan perbatasan kawasan bagian utara yang kaya minyak, seperti yang ditetapkan setelah perjanjian damai tahun 2005. Akibat masih terjadinya konflik, mahkamah menetapkan kembali batas-batas bagian timur dan barat Abyei sehingga mengurangi luasnya.

SPLM, bekas kelompok pemberontak yang mewakili Sudan selatan, mengemukakan, pihaknya akan menghormati keputusan mahkamah. Namun, Pemerintah Sudan mengutarakan akan mempelajari dahulu keputusan mahkamah itu secara saksama.

Majelis hakim memutuskan untuk tidak mengikuti batas-batas wilayah yang diusulkan setelah perjanjian damai tahun 2005, yang telah ditolak pihak utara. Sebagai gantinya, mahkamah menyatakan beberapa wilayah, termasuk ladang minyak Heglig, bukan bagian dari Abyei.

Sejak Selasa (4/1), Presiden Sudan Omar al-Bashir sudah berada di Juba, kota utama di selatan, untuk pertemuan lima hari sebelum pelaksanaan referendum hari Minggu nanti. Ia terus-menerus mengadakan pertemuan dengan pemimpin otoritas di selatan, Salva Kiir. Pertemuan itu untuk mempersiapkan kondisi demi referendum yang adil, jujur, dan transparan.

Banyak pengamat memandang perjumpaan Bashir-Kiir sebagai momen penting yang amat menentukan masa depan Sudan. Apakah negara itu, yang selama ini lebih banyak diakibatkan oleh ledakan perang saudara akibat konflik sektarian, akan tetap bersatu atau malah pecah dua. Ada banyak mengatakan, selatan akan memilih berpisah, tetapi yang lain melihat pertemuan Bashir- Kiir yang langka itu mengisyaratkan pentingnya reunifikasi.

Terbuka kemungkinan bahwa Kiir amat berambisi menjadi pemimpin wilayah itu menuju kemerdekaan. Kiir, tokoh Katolik yang taat itu, mengambil alih kendali gerakan kemerdekaan di selatan dari pemimpin karismatik, rekan sesama pendiri SPLM pada tahun 1983, yakni John Garang yang tewas dalam kecelakaan helikopter di Uganda seusai kesepakatan damai 2005.

Bashir adalah keturunan Arab, tentara karier, dan tokoh Muslim yang kuat yang dibenci Barat. Ia berharap selatan tetap bersatu, tetapi akan mendorong dan membantunya jika selatan ingin berpisah menjadi negara otonom. Ia akan menerapkan syariat Islam di utara jika selatan merdeka. (AFP/AP/REUTERS/CAL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com