Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merah-Putih Berkibar di Puncak Aconcagua...

Kompas.com - 30/12/2010, 04:12 WIB

Setelah hampir 10 jam berjibaku dengan medan terjal bersalju, hawa dingin, dan tipisnya oksigen, tiga pendaki tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia akhirnya berhasil menjejakkan kaki dan mengibarkan Merah-Putih di puncak Aconcagua (6.962 meter di atas permukaan laut), Argentina, yang menjadi titik tertinggi di daratan Amerika Selatan, Senin (27/12) sekitar pukul 15.15 waktu setempat. Tangis haru pun mewarnai kedatangan mereka saat kembali ke kamp.

Ketiga pendaki tersebut adalah Ardeshir Yaftebbi, Fajri Al Luthfi, dan Martin Rimbawan. ”Kami hanya sekitar 15 menit di puncak. Setelah ambil foto, langsung turun,” kata Ardeshir, yang menjadi ketua pendakian, begitu turun dari puncak. Dari sembilan anggota tim yang mencoba menggapai puncak dari kamp terakhir, mereka bertigalah yang akhirnya mampu mengibarkan Merah-Putih.

Jika tidak didukung faktor mental dan cuaca yang baik, pencapaian ke puncak ini nyaris tidak berhasil karena ketiganya juga didera kelelahan fisik yang luar biasa. Bahkan, Martin saat turun dari puncak harus diikatkan tali oleh pemandu karena kondisi fisiknya drop. ”Badan saya lemas sekali, kalau tidak diikat saya bisa jatuh,” ucap Martin yang mengaku pendakian ini merupakan yang terberat dibandingkan puncak-puncak sebelumnya.

Sembilan anggota tim yang terdiri atas enam pendaki, manajer tim, wartawan Kompas, dan wartawan Metro TV memulai pendakian dari kamp terakhir tempat tim menginap di Camp Cholera (5.900 mdpl), saat hari masih gelap dan beku, atau sekitar pukul 05.30 waktu setempat. Pada musim panas di Argentina, matahari baru terbit pukul 06.41 dan tenggelam pukul 21.08.

Seluruh anggota tim didampingi tiga pemandu dari Aymara selama perjalanan ke puncak yang jadwalnya dimajukan sehari karena pertimbangan perkiraan cuaca. Pendakian ke Aconcagua ini dimulai pada 18 Desember lalu melalui rute normal yang diikuti 10 orang, tetapi salah satu dari dua wartawan Metro TV yang ikut serta harus tinggal di kamp utama Plaza de Mulas karena alasan kesehatan.

Ketika pendakian menuju puncak dari kamp terakhir baru beberapa puluh meter, Gina Afriani yang merupakan satu-satunya pendaki perempuan dalam tim tiba-tiba jatuh tersungkur dan muntah darah. Akhirnya, ia ditemani manajer tim, Yoppi Rikson, turun kembali ke kamp utama Plaza de Mulas (4.300 mdpl).

Dengan anggota tim yang tersisa dan pemandu, perjalanan terus berlanjut dengan medan berbatu yang cukup terjal. Tim sempat beristirahat di Refugio Independencia (6.400 mdpl), sebuah pondok kecil yang atapnya rusak, tempat jasad Didiek Samsu, pendaki dari Mapala UI, ditemukan meninggal pada akhir Maret 1992. Tak lama, hujan salju pun mengiringi perjalanan tim.

Lewat dari Independencia atau sekitar ketinggian 6.500 mdpl, saya yang berjalan perlahan di belakang tim akhirnya dihampiri salah satu pemandu, Juan Manuel Tillard yang akrab disapa dengan Kwanci, yang berkata, ”Kamu kelihatan sudah sangat lelah, sebaiknya turun kembali ke kamp dengan saya.” Perjalanan saat itu sudah lebih dari lima jam.

Dengan kondisi fisik yang sudah sangat lelah dan sulit bernapas akibat efek ketinggian, saya kemudian mengikuti Juan tanpa banyak membantah.

Hujan salju yang masih mengguyur Aconcagua membuat medan bebatuan tertutup hingga sekitar 30 sentimeter dan perjalanan turun ke kamp Cholera hanya dapat dipandu oleh alat GPS (global positioning system). Tampak beberapa grup yang mencoba ke puncak akhirnya juga turun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com