Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Menyama Braya" di Bali

Kompas.com - 23/12/2010, 10:00 WIB

Ayu Sulistiyowati

KOMPAS.com — Desember tahun ini istimewa! Umat Hindu dan umat Kristiani di ”Pulau Dewata” hampir merayakan hari raya Galungan, Kuningan, dan Natal secara bersamaan. Tanpa sekat, mereka menyama braya (gotong royong) demi berbagi kebahagiaan dan kasih....

Setiap Natal menjelang, para pecalang bersiap melibatkan diri. Mereka bahu-membahu dengan polisi mengamankan dan mengatur arus lalu lintas di depan sejumlah gereja di Denpasar, Bali. Kehadiran mereka turut menambah kekhusyukan umat Kristiani beribadah.

Siapa itu pecalang?

Mereka adalah petugas keamanan tradisional yang lazim terdapat di setiap banjar di Pulau Dewata. Nah, sebagai warga asli setempat, mereka mengetahui persis apa pun kegiatan banjar sampai ke desa. Mereka yang bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban jalan dalam setiap kegiatan adat umat Hindu Bali atau kegiatan di pura dan sekitar banjarnya. Tanpa mereka, pengguna jalan bisa mengumpat tak habis-habisnya karena jalan macet sebagai dampak dari penggunaan separuh jalan untuk ritual adat.

Polisi pun terbantu dengan keberadaan para pecalang ini. Pendekatan pecalang yang bersifat kultural menjadi kekuatan mereka.

Selain kompak, mereka juga sudah berseragam. Udeng (ikat kepala khas Bali) di kepala dan kain kotak-kotak hitam-putih menjadi pakaian khas pecalang. Kadangkala, beberapa banjar malah menyablon identitas khusus di bagian belakang kaus atau rompi sehingga penampilan pecalang menjadi lebih berwibawa.

Dalam perkembangannya, pecalang tak hanya menjadi aparat keamanan tradisional setempat. Mereka membantu siapa pun yang membutuhkan. Siapa pun maksudnya adalah warga mana pun, lepas dari agama, latar belakang, dan suku. Contohnya, sejumlah gereja memanfaatkan keberadaan pecalang untuk membantu umat agar bisa beribadah dengan tenang dan aman tanpa beban gangguan jalanan atau pengaturan parkir.

”Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami diminta membantu penjagaan gereja bersama para polisi. Natal itu, ya, saatnya menyama braya (gotong-royong) dengan umat lain. Umat Muslim pun dibantu penjagaannya seperti ada acara buka puasa bersama sampai Lebaran. Ini demi ketertiban bersama. Ini wilayah bersama yang harus dijaga bersama-sama. Tanpa membedakan siapa dan apa agama yang dianutnya,” kata Nyoman Sudarsana, Prajuru Banjar Bun, Denpasar.

Sementara di tempat berbeda, aura kebersamaan terasa kental di halaman Gereja Bethel Indonesia Denpasar Lembah Pujian Rock Ministry pada awal Desember pagi lalu. Panitia membagikan sedikitnya 320 kupon belanja seharga Rp 75.000 per orang kepada warga sekitar Peguyangan, Denpasar. Kupon itu bisa dibelanjakan sesuka hati dari barang yang disediakan mulai sembako sampai baju trendi yang murah harganya.

Lagi-lagi semua ini dilakukan atas nama toleransi dan kebersamaan. ”Ini tumben-tumbennya bisa bersamaan merayakan hari raya bersama umat Hindu dan Kristiani. Karenanya, kami perlu berbagi bahagia bersama dengan berbagi kupon sembako dan baju murah. Seru!” kata Panitia Lembah Pujian Lukas Bundi.

Buah-buahan yang biasa dibutuhkan saat Galungan pun menjadi komoditas utama yang dijual dengan harga miring. Lukas dan kawan-kawan membagikan pula bingkisan berisi mi instan, sikat gigi, serta kupon undian. Kupon-kupon ini diberikan khusus untuk masyarakat penganut Hindu.

Menyama braya pun terasa ketika ada warga Hindu punya hajatan. Pada kesempatan itu, giliran warga yang tak seagama turut membantu menyiapkan sarana upacara. Benar-benar tanpa sekat....

Men Patmi (65) contohnya. Warga Kerobokan, Kabupaten Badung, ini menganut Kristiani. Namun, pengetahuan soal prasarana dan sarana upacara adat tetap tak ditinggalkannya. Konsep menyama braya pun melekat di warga.

Bagi Men Patmi, pengetahuannya ini menjadi modal untuk tetap bisa berkumpul dan berbagi dengan para saudara dan tetangganya. ”Agama tiyang (saya) memang berbeda karena memeluk Kristiani. Tetapi, tiyang orang Bali dan memiliki adat yang sama dengan saudara tiyang di sini,” katanya sambil tersenyum.

Banyak Patmi lain di Bali. Karena, mereka lekat dengan konsep, apa pun yang ditanam, Hyang Widhi pasti mengembalikannya, kebaikan maupun keburukan, yakni karma.

Di Bali, warga lokal berupaya menjunjung kebersamaan dengan mereka yang datang karena menyama menjadi modal kenyamanan hidup. Itulah Pulau Dewata.... Santhi, santhi, santhi (damai, damai, damai)....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com