Magelang, Kompas -
M Adib, koordinator posko bencana lahar dingin Desa Jumoyo, Minggu (19/12), mengatakan, hingga saat ini belum ada bantuan ap apun dari pemerintah untuk para korban. Bantuan hanya datang dari sukarelawan dan swasta. Padahal, korban yang kini mengungsi umumnya kehilangan semua harta bendanya serta sumber mata pencahariannya.
”Mereka ini sebagian besar pedagang pasar, pemilik kios, dan tempat usaha di sekitar Pasar Jumoyo yang hancur terkena lahar dingin itu. Sekarang semuanya sudah hilang, jadi ya tak bisa bekerja lagi,” ujar Adib.
Para pengungsi sekarang menempati balai desa, sekolah, dan rumah kerabat atau tetangga mereka yang aman. Pada pagi hingga siang sebagian mereka datang ke lokasi bekas rumah mereka yang hancur diterjang banjir untuk menjadi buruh angkut pasir, sedangkan sore harinya kembali ke pengungsian. Ancaman banjir lahar dingin susulan masih membayangi mereka. Sebab, saat ini hujan masih turun tiap sore.
Badan Kali Putih yang hancur akibat banjir lahar dingin yang kemudian meluber ke rumah-rumah warga sampai saat ini tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Kondisi demikian membuat warga sekitar kali tersebut kian khawatir.
Sejak beberapa hari terakhir, sebagian warga di Dusun Gempol, Jumoyo, berinisiatif membuat tanggul darurat dari kantong-kantong pasir. Tanggul itu ditumpuk di sepanjang bibir Kali Putih yang saat ini masih porak-poranda.
”Kami kecewa sekali dengan pemerintah. Waktu kami mengeluh, hanya dibilang, salahnya tinggal di pinggir sungai. Akhirnya, kami berinisiatif untuk membuat tanggul sendiri. Ini demi nyawa kami sendiri,” ujar Agus (35), warga Gempol.
Untuk mengatasi masalah ekonomi, warga setempat memanfaatkan tumpukan pasir yang dibawa banjir lahar dingin untuk dijual. Mereka bergotong royong mengumpulkan pasir dan menjualnya. Satu truk pasir dibagi, yaitu 60 persen untuk kas desa, 10 persen untuk ongkos pekerja, dan 30 persen untuk warga pemilik tanah.