Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjelajahi Ujung Genteng...

Kompas.com - 17/12/2010, 08:25 WIB

KOMPAS.com — "Pokoknya apa pun yang terjadi, kita tujuannya have fun ya!" Pernyataan itu seakan membuka awal dari perjalanan kami menuju Ujung Genteng, Sukabumi Selatan, Jawa Barat.

Beberapa waktu yang lalu saya dan teman-teman sempat berjalan-jalan ke Ujung Genteng, sebuah kawasan pantai di selatan Sukabumi, dengan berbagai macam spot wisata tersebar di daerah ini.

Berjarak sekitar 200 kilometer dari Jakarta, membutuhkan sekitar 6 hingga 8 jam perjalanan untuk mencapai Ujung Genteng.

Rencananya kami berempat (saya, Hanny, Mitra, dan Lisa) akan ke sana selama 2 hari 2 malam, dengan transit semalam di Sukabumi, memanfaatkan libur akhir minggu sehingga tidak memerlukan izin cuti.

Sebagai budget backpacker amatiran, kami menuju Ujung Genteng dengan budget per orang Rp 200.000 (yang langsung didepositkan ke Mitra) serta beberapa print-out hasil googling di internet dan kepiawaian Mitra dalam menentukan moda dan rute transportasi.

Hari pertama, Jumat pukul 16.30. Titik pertemuan kami adalah di Percetakan Negara, di depan kantor teman-teman jalan saya nanti. Dari sana kami berempat bertolak menuju Terminal Pulo Gadung untuk naik bus AC Jakarta-Bogor menuju Sukabumi.

Sampai di Sukabumi sekitar pukul 20.00 dengan kondisi cuaca yang hujan rintik-rintik, kami melanjutkan perjalanan dengan ELF Surade-Bogor, yang serunya bisa muat sampai 18 orang! Padahal kapasitas normal cuma sekitar 12 orang! Di ELF itu kami hanya bisa tertawa-tawa menyadari posisi duduk yang sudah tidak jelas. Sepertinya kalau duduknya bisa vertikal, pasti dijabanin juga deh tuh sama si kenek.

Pukul 21.00. Akibat hujan dan kemacetan yang disebabkan oleh jam orang pulang kantor, kami tiba di Stasiun Cibadak sekitar pukul 21.00. Menginap semalam di rumah neneknya Mitra, dan disuguhi makan malam yang terasa enak sekali karena perut kosong dan tubuh yang sudah terasa lelah. Setelah bersih-bersih dan makan malam, kami langsung beristirahat menyiapkan energi untuk esok paginya.

Hari kedua, Sabtu pukul 07.30. Setelah selesai beres-beres, kami melanjutkan perjalanan dari Cibadak menggunakan angkot ke Terminal Lembur Situ, yang dilanjutkan dengan bus AC MGI Surade-Bogor, melewati Stasiun Jampang Kulon menuju Surade.

Pukul 13.00 kami sampai di Terminal Surade. Dari Surade, kami naik angkot sekali lagi menuju Ujung Genteng. Mendekati Ujung Genteng, sopir angkot yang tumpangi menawarkan untuk menyewakan angkotnya selama kami berjalan-jalan di sana. Dari hasil tawar-menawar, akhirnya kami sepakat untuk menyewa angkot dengan biaya Rp 160.000 untuk antar-jemput, cari penginapan, mengantar ke Curug Cikaso dan mengejar sunset di Pantai Cipanarukan, serta jasa tour guide kecil-kecilan.

Kami juga berkenalan dengan pengemudi angkot tersebut yang ternyata bernama Erik, dan tampaknya sempat tersinggung saat Mitra memanggilnya 'Mang'. "Jangan panggil mang dong! Panggil Erik aja," katanya.

Erik pun menjadi teman baru kami selama berjalan-jalan di Ujung Genteng. Sesampainya di Ujung Genteng, kesan pertama kami adalah walaupun daerah pantai, anginnya sejuk! Kenapa bisa gitu ya?

Di sana kami mencari penginapan dengan diantar Erik. Beberapa penginapan yang rata-rata memiliki nama dengan awalan kata "pondok" sempat kami datangi untuk membandingkan harga. Akhirnya kami mendapatkan penginapan dengan harga Rp 200.000 di Pondok Adi. Kalau harga normal Rp 350.000. Kami dapat murah berkat hasil negosiasi yang gigih.

Nama bungalonya "Cibuaya". Bungalo mini ini memiliki fasilitas 2 kamar tidur masing-masing 4 tempat tidur, 1 kamar mandi, pantry kecil, dan ruang duduk plus serambi.

Saya menyarankan untuk menginap di Pondok Adi ini, walaupun tanpa AC, kondisinya bersih dan nyaman. Kamar mandinya baru. Dengan kilat, kami menaruh barang, ganti baju untuk kotor-kotoran, lalu langsung berangkat menuju Curug Cikaso.

Curug Cikaso

Air terjun yang tersembunyi di daerah lembah yang harus melewati sungai ini terletak 16 km dari Terminal Surade. Begitu sampai di Pos Wisata Curug Cikaso, kami menyewa sebuah perahu dengan harga Rp 50.000 (normalnya Rp 60.000). Perahu ini berkapasitas 6 hingga 8 orang sehingga termasuk relatif murah apabila dibagi 8 orang. Dari ujung sungai hingga ke Curug Cikaso hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit.

Selama perjalanan, pandangan mata kami dimanjakan oleh pemandangan alam yang breathtaking. Apalagi setelah melihat Curug Cikaso! Airnya jernih banget! Dan kita bisa bermain air di sini. Oh ya, tips saya kalau mau melewati batu-batu sungai, harus hati-hati karena licin oleh lumutnya. Saya sendiri sempat terjatuh di sana.

Pantai Ujung Genteng

Setelah puas bermain di Curug Cikaso, kami kembali ke daerah penginapan untuk melihat sunset. Tidak lupa kami janjian dengan Erik untuk mengantar pulang ke Surade esok paginya. Sebenarnya kami juga meminta tolong Erik supaya juga mengantar kami ke Pantai Pangumbahan, tempat penangkaran penyu di Ujung Genteng, untuk malam itu.

Tapi, tak disangka-sangka, Erik tidak mau mengantar kami ke sana pada malam hari, alasannya karena dia mau malam mingguan. Katanya, "Wah buat apa cari duit mulu, Mbak. Masak waktu malam minggu juga repot cari duit."

Penangkaran Penyu Pangumbahan

Setelah puas foto-foto sunset dan makan malam di warung kecil yang tampaknya sudah tutup (mie rebus plus telur) kami mencari ojek untuk mengantar kami ke Pantai Pangumbahan.

Setelah mencoba mencari dan tidak menemukan calon ojek yang terlihat qualified, kami memutuskan bertanya kepada manajemen Pondok Adi. Di sana kami baru mengetahui bahwa tiap penginapan memiliki langganan ojeknya masing-masing. Tarifnya pergi-pulang Rp 40.000 per orang. Saran saya lebih baik meminta tolong dicarikan ojek oleh pemilik penginapan daripada mencoba mencari ojek sendiri.

Pukul 20.30 kami dijemput oleh ojek. Dari sana kami menuju Pantai Pangumbahan dengan melewati jalan-jalan kecil dan gelap. Kondisi yang gelap ini memang dibutuhkan untuk sebuah tempat penangkaran penyu. Karena katanya penyu yang akan bertelur apabila melihat cahaya akan enggan untuk bertelur dan akan kembali ke laut. Makanya kondisi jalanan memang gelap dan tidak dipasangi lampu sama sekali. Kalau bukan ojek yang terbiasa, saya kira pasti kami sudah tersesat.

Jadi, lagi-lagi saran saya, minta pesankan ojek dari penginapan Anda untuk melihat penyu bertelur.

Sekitar 5-10 menit kemudian kami sampai di tempat penangkaran tersebut. Kami melihat dan menyentuh beberapa anak penyu yang akan dilepas esok paginya (sekitar jam 5 subuh). Seingat saya, petugas di sana sempat memberi tahu bahwa untuk melihat penyu yang bertelur diperlukan kesabaran dan ketelatenan karena jadwal penyu bertelur, biasanya pukul 20.00 hingga pukul 04.00, tidak tentu.

Kami beruntung akhirnya bisa melihat penyu bertelur sekitar pukul 22.00. Kesan kami saat itu hanya satu, gelap! Mitra dan Mbak Lisa sampai menyebut, benar-benar kaya jalan di mimpi saking gelapnya!

Di tempat penangkaran terdapat enam pos penjagaan. Kebetulan penyu yang sedang bertelur itu ada di Pos 6, pos terjauh. Pasir di pantai ini amat tebal dan halus. Karena gelap, jadi saya hanya bisa mengira-ngira. Berulang kali kami tersandung oleh cekungan-cekungan pasir yang cukup dalam. Kami tertawa-tawa hingga sakit perut saat salah seorang di antara kami tersandung karena saat itu kami saling bergandengan tangan, takut terpisah! Jadinya begitu jatuh satu, jatuh semua!

Saya baru tahu, ternyata walaupun saat ingin bertelur harus memiliki kondisi pantai yang bebas cahaya, saat penyu sedang bertelur ternyata kondisi seperti apa pun tidak berpengaruh baginya. Oleh karena itu, saat penyu sedang bertelur adalah saat yang tepat untuk memotret sang ibu penyu.

Pantai yang gelap kini mulai dihujani kilatan blitz dari kamera-kamera penonton. Setelah puas memotret sang ibu penyu, kami kembali ke penginapan. Bersih-bersih kemudian beristirahat untuk melihat matahari terbit esok paginya.

Oh ya, saat itu budget kami sudah mulai menipis sehingga kami memasukkan Rp 100.000 lagi per orang sebagai deposit.

Hari ketiga, Minggu pukul 05.00, setelah shalat, dan tanpa mandi kami langsung berangkat mencari sunrise. Karena kami tidak tahu mau ke mana, jadilah kami jalan menuju matahari tanpa tahu tujuan. Ternyata setelah berjalan kaki cukup jauh, kami menemukan TPI (tempat pelelangan ikan), dan sebuah pantai yang luas dengan matahari terbitnya. Dari kejauhan terlihat banyak fotografer yang mencoba menangkap keindahan sang matahari yang baru terbangun dari tidurnya.

Pukul 07.00 kami balik ke penginapan, beres-beres, dan pukul 08.30 ternyata Erik sudah menjemput. Kami sempat ke Villa Amanda Ratu sekalian mengantar klien barunya Erik, dan kami menemukan "Tanah Lot" mini.

Sekitar 15 menit bermain di sana, kami langsung bertolak ke Surade. Erik benar-benar guide yang sangat membantu. Dari Surade, kami naik ELF Surade-Bogor menuju Terminal Degung, dari sana kami berempat berpisah. Mitra dan Mbak Lisa naik bus tujuan Pulo Gadung, saya dan Hanny naik bus tujuan Lebak Bulus.

Pukul 18.00, saya dan Hanny akhirnya tiba di Jakarta. Kami berpisah menuju rumah masing-masing. Duh senangnya liburan!

Ujung Genteng is superb! Kami tidak sempat ke beberapa spot wisata lainnya, tapi pengalaman kami benar-benar amat sangat seru dan menyenangkan. Hitung-hitung sebagai latihan untuk jadi budget backpacker yang andal! Sebagai catatan, total pengeluaran semuanya (termasuk akomodasi, transportasi, dan makan) adalah Rp 291.000 untuk 3 hari 2 malam. (Herajeng Gustiayu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com