Kendati kehilangan pendapatan dari sewa jip dan sewa kuda, Maryono, Sunarjo, dan Mentor tetap tenang. ”Sabar aja. Waktu meletus tahun 2004 saya sedang di bawah tangga kaldera. Saya langsung lari. Kuda lepas dan pulang sendiri. Tetapi, selama ini aman. Poten (pura) juga cuma kena kerikil di pinggirnya,” kata Sunarjo yang memiliki seorang anak perempuan berusia dua tahun.
Keberadaan lautan pasir membesarkan hati dan melindungi warga. Sementara tak menyewakan kuda atau jip, warga Tengger mencurahkan perhatian ke lahan pertanian mereka. Mentor menggarap ladangnya yang seluas 0,5 hektar. Mencangkul, menanam benih kentang, dan memberi pupuk sepanjang musim hujan ini.
Kesabaran menerima gejala alam ini pun merata pada para pelaku pariwisata di sekitar Gunung Bromo. Penjual kaus bergambar Gunung Bromo, Sumanto (18), mengatakan, jumlah penjualan tidak tentu. Adakalanya dalam sehari bisa laku 30 lembar, adakalanya hanya beberapa lembar kaus yang dapat dijual warga Kecamatan Lumbang, Probolinggo, itu. Tetapi, ia menerima saja kondisi itu.
Pengelola wisata petik stroberi, Sri Mukti (50), di Desa Wonokerto, Sukapura, juga mengatakan, hampir tak ada pengunjung mampir ke tempatnya. Padahal, pendapatannya bisa mencapai Rp 500.000 saat ramai pengunjung.
Kini warga tetap menjalani kehidupan sambil berharap aktivitas Bromo akan kembali normal. Menurut Mentor, kalau tak menyewakan kuda, ya menggarap ladang. Kalau ladang kena abu, setelah itu lahan bisa lebih subur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.