Oleh
Abad ke-21 pun merupakan sebuah kurun waktu yang tak sepenuhnya terbebaskan dari belenggu perbudakan. Bahkan, perbudakan pada abad ke-21 inheren ke dalam proses-proses ekonomi serta berada di tengah pusaran pasar kerja. Jika pada abad-abad yang lalu seseorang ditangkap untuk dijadikan budak, pada abad ke-21 perbudakan bermula dari pasar kerja.
Kenyataan ini mengingatkan kita pada pandangan filosofis GWF Hegel (1770-1831), bahwa sejarah merupakan perjuangan abadi meneguhkan kebebasan. Di sepanjang perjalanan sejarah, manusia berjuang meraih kebebasan. Format atau bentuk perbudakan mungkin saja berubah. Tetapi, hakikat dan makna perbudakan justru membentang panjang dalam sejarah umat manusia. Cita-cita mewujudkan kehidupan yang manusiawi pun terus bergema tanpa titik akhir.
Sejarah lalu tak pernah kehabisan agenda menyuarakan pembebasan hakiki manusia dari belenggu perbudakan. Sejarah bahkan dengan mudahnya berubah menjadi mantra pembebasan manusia dari perbudakan. Dan karena itu pula sejarah merupakan hakim agung yang memberikan penilaian terhadap bermartabat tidaknya kehidupan umat manusia.
Kisah sedih dan penderitaan Sumiati binti Salan Mustapa (23) merupakan contoh konkret kecamuk perbudakan pada abad ke-21. Tenaga kerja wanita (TKW) asal Dompu, Bima, Nusantara Tenggara Barat, itu sejak 18 Juli 2010 bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Khaled Salem M al-Khamimi di Madinah, Arab Saudi. Ia hadir sebagai TKW di keluarga tersebut melalui perusahaan penyalur tenaga kerja yang berkedudukan di Jakarta. Tragisnya, Sumiati yang tak mampu berbahasa Arab dan Inggris itu mengalami siksaan fisik. Di sekujur tubuh Sumiati terdapat bekas luka sangat parah. Bahkan terdapat bekas guntingan di mulut Sumiati.
Apa yang bisa dimengerti dari cerita pilu Sumiati adalah perbudakan pada abad ke-21. Suprastruktur pencetus perbudakan sepenuhnya faktor ekonomi. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa duka pilu Sumiati merupakan akibat logis bekerjanya sistem ekonomi perbudakan. Sistem ekonomi perbudakan telah sedemikian rupa membentuk mind-set sehingga tak dirasakan sebagai penistaan terhadap kemanusiaan. Tindakan keji keluarga majikan lalu menemukan momentumnya oleh bekerjanya sistem ekonomi perbudakan.
Bagaimana sistem ekonomi perbudakan bekerja, dapat disimak dari paparan berikut. Pertama, perusahaan penyalur tenaga kerja mengetahui dengan jelas bahwa Sumiati tak mampu berbahasa Inggris dan Arab. Penempatan Sumiati sebagai pekerja migran di Madinah menjadi suatu bentuk pemaksaan terhadap fakta kegagapan berkomunikasi pada seorang pekerja migran internasional. Seyogianya perusahaan penyalur tenaga kerja tak menjadikan Sumiati pekerja migran internasional. Perusahaan penyalur tenaga kerja abai terhadap problema bahasa sebagai pencetus terjadinya kesalahpahaman dalam totalitas relasi buruh-majikan.
Kedua, Sumiati merupakan sosok anak bangsa yang ternista ketidaksempurnaan pasar kerja. Berlatar belakang keluarga miskin, ia mendamba hidup lebih baik melalui pelaksanaan peran sebagai pekerja migran. Namun, keterbatasan kemampuan memperhadapkan dirinya pada opsi kerja sebagai pembantu rumah tangga. Seandainya pasar kerja bersih dari patologi ekonomi perbudakan, seorang anak bangsa seperti Sumiati diberdayakan terlebih dahulu. Kita menyaksikan di sini, perusahaan penyalur tenaga kerja hanya fokus pada perolehan keuntungan dari fungsi agensi pengiriman tenaga kerja ke mancanegara.
Ketiga, ekonomi perbudakan menguat sebagai konsekuensi logis kegagalan negara menegakkan kedaulatan rakyat. Hingga kini, para penyelenggara negara berada pada titik pertaruhan justru karena gagal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tatkala kasus Sumiati menyeruak ke permukaan, berbagai elemen negara yang berkaitan erat dengan pekerja migran justru masih berbicara tentang momentum penegakan hak asasi manusia TKW di mancanegara. Sungguhpun ekspor TKW telah berlangsung sejak dekade 1980-an, negara masih kosong dari spirit pembelaan terhadap anak-anak bangsa yang mengadu nasib sebagai pekerja migran.
Selama politik ketenagakerjaan tumpul memahami hakikat dan logika ekonomi perbudakan, selama itu pula terus bermunculan kasus serupa Sumiati.