Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Material

Kompas.com - 19/10/2010, 05:49 WIB

Tidak seperti namanya, logam tanah jarang atau LTJ sebenarnya tidak jarang-jarang amat. LTJ bisa ditemukan di seluruh muka bumi. Beberapa jenis di antaranya memiliki kelimpahan yang sama dengan nikel, tembaga, seng, atau timbal.

Bahkan, dua LTJ paling langka, yakni tulium dan lutetium, 200 kali lebih mudah ditemukan dibandingkan dengan emas. ”Setiap batuan sebenarnya mengandung elemen ini, tetapi konsentrasinya sangat kecil, takarannya ppb (part per billion, satu di antara semiliar),” tutur Kepala Badan Geologi R Sukhyar kepada Kompas di Jakarta, Senin (4/10).

Hanya saja, unsur-unsur tersebut tak berada dalam kondisi bebas di alam. Sukhyar mengatakan, LTJ ditemukan dalam bentuk senyawa atau campuran mineral. Beberapa mineral yang mengandung LTJ antara lain apatite, allanit, zircon, xenotime, monazite, dan bastnaesite. Sebagian besar tambang LTJ di dunia menggunakan mineral bastnaesite sebagai bahan bakunya.

Menurut Sukhyar, konsentrasi LTJ yang tinggi biasanya terkandung dalam batuan beku asam (memiliki kandungan silika atau SiO di atas 65 persen) seperti batuan granit. Konsentrasi batuan granit ini biasanya ada di kawasan inti benua, atau bagian benua yang berumur paling tua. ”Di mana ada pertambangan yang mengambil mineral dari batuan induk granit, pasti ada logam tanah jarang yang ikut terambil,” tuturnya.

Itu sebabnya, tambang-tambang LTJ di dunia terdapat di benua-benua besar, seperti Australia, Brasil, Afrika Selatan, India, Kanada, Amerika Serikat, dan China. Di kawasan Nusantara, cadangan batuan granit yang berpotensi mengandung LTJ ini ada di pulau-pulau terbesar, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Sukhyar mengatakan, karena sifatnya yang hampir sama satu sama lain dan melekat pada mineral yang mengandung unsur radioaktif, pemisahan masingmasing unsur LTJ memang membutuhkan proses yang rumit.

Menurut majalah The Economist, proses pemisahan LTJ membutuhkan sejumlah besar air dan asam, dan tenaga listrik yang tinggi untuk melakukan proses-proses, seperti pertukaran ion, kristalisasi fraksional, dan ekstraksi cairan/cairan. ”Di Indonesia, proses pemisahan itu sudah bisa dilakukan di skala laboratorium,” ungkap Sukhyar.

China berhasil menguasai pasar LTJ dunia karena bisa menerapkan harga LTJ terendah, yang membuat industri LTJ ini di negara-negara lain, seperti AS, tak mampu bersaing. Selain karena memiliki cadangan melimpah, regulasi lingkungan di China tak seketat di negara-negara maju itu sehingga seluruh biaya produksi proses pemisahan LTJ dapat ditekan serendah mungkin.

Teknologi masa depan

LTJ meliputi 17 unsur kimia, yakni skandium (Sc), itrium (Y), lantanum (La), serium (Ce), praseodimium (Pr), neodymium (Nd), prometium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), disprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), tulium (Tm), iterbium (Yb), dan lutetium (Lu). Sebanyak 14 unsur di antaranya masuk dalam golongan unsur lantanida, yang dalam tabel periodik unsur-unsur kimia digambar secara khusus dalam baris terpisah di bagian bawah.

Keistimewaan unsur-unsur, yang masuk dalam kategori logam transisi, itu, adalah kemampuannya bereaksi dengan unsur-unsur lain untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang tidak bisa dihasilkan tanpa reaksi tersebut. ”Karena posisinya sebagai unsur transisi, rare earths ini mudah bereaksi dengan unsur-unsur lain,” papar Sukhyar.

Contoh sederhana bisa kita lihat pada layar televisi yang masih memakai teknologi tabung (cathode ray tube, CRT). Pada awal-awal penemuan teknologi televisi berwarna, CRT ini tidak mampu menghasilkan warna merah yang bagus, sampai akhirnya bahan aktifnya dicampur dengan unsur itrium dan europium, yang mampu menghasilkan cahaya merah.

Neodymium dan itrium juga berperan pada pembentukan kristal Nd:YAG (neodymium-doped yttrium aluminium garnet), yang merupakan salah satu medium laser paling populer. Laser jenis ini lazim digunakan untuk operasi kanker kulit, operasi plastik, sampai sebagai sistem pembidik sasaran dalam militer.

Priyono, dosen dan peneliti bidang fisika material dari Departemen Fisika Universitas Diponegoro, Semarang, menambahkan, sebagian logam tanah jarang, seperti samarium dan neodymium, juga menjadi bahan berpotensi untuk membuat magnet energi tinggi.

Revolusi teknologi

Kekuatan magnet dengan campuran samarium atau neodymium bisa 10-20 kali lebih besar dibanding magnet biasa, taruhlah seperti yang biasa kita temui pada pengeras suara. Artinya, untuk memperoleh kekuatan magnet yang sama, magnet energi tinggi ini bisa berukuran dan berbobot 10-20 kali lebih kecil.

Magnet energi tinggi ini merevolusi pembuatan motor listrik yang jauh lebih ringan, seperti yang digunakan pada motor penggerak mobil listrik atau mobil hibrida (mobil yang digerakkan oleh mesin konvensional dan motor listrik bertenaga baterai secara bergantian). Jika Anda sering menikmati musik menggunakan i-Pod, pengeras suara mini dalam earphone perangkat tersebut menggunakan magnet neodymium.

Baterai penyimpan listrik yang bisa diisi ulang, seperti jenis nickel metal hydride (NiMH), yang lazim digunakan pada telepon seluler atau baterai utama mobil hibrida, menggunakan campuran lantanum. The Economist menyebut, satu unit mobil Toyota Prius sedikitnya menggunakan 25 pon (11,33 kilogram) lantanum dalam baterai NiMH-nya.

Fungsinya, yang lebih sebagai bahan campuran atau katalisator, itu membuat LTJ memang tidak dibutuhkan dalam jumlah banyak. Meski demikian, dengan makin bergantungnya kehidupan manusia terhadap benda- benda teknologi tersebut, kebutuhan dunia akan logam-logam istimewa ini pun makin besar.

(DHF)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com