Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dulu-Kini Teknologi Sirene Merapi

Kompas.com - 16/10/2010, 15:56 WIB

Besi oranye itu berbentuk bulat berdiameter 30-an sentimeter. Sisi belakangnya menyembul uliran. Alat itu mengeluarkan suara nyaring jika uliran dimasuki tuas besi lalu diengkol. Itulah sirene manual di pos Pengamatan Gunung Merapi.

Cara bekerja sirene itu memang sederhana. Tak perlu pengeras suara. Namun, dari menara pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) di Kaliurang setinggi 23 meter-tempat sirene manual itu ditempatkan- suara nyaringnya terdengar hingga 2 kilometer.

Butuh disiplin dan ketekunan untuk memastikan sirene manual tetap berfungsi baik. "Tuas harus dicopot, disimpan. Kalau tidak, bisa menimbulkan kepanikan bila ada orang yang naik lalu asal mengengkol," kata Triyono (44), petugas di pos PGM, Selasa (12/10).

Alat itu hanya dibunyikan saat status Merapi "awas". Setiap hari, Triyono rutin memberi oli lalu mengengkolnya agar tidak seret. Semua dilakukan perlahan sehingga bunyi yang keluar lirih. Sirene manual itu sudah tua. Diperkirakan peninggalan Belanda, buatan sebelum tahun 1960.

"Pos pengamatan di Kaliurang ini baru ada setelah erupsi Merapi tahun 1994. Dulu di Plawangan, tetapi karena kena erupsi, pos dipindah ke sini," ujar lelaki tamatan STM Muhammadiyah Gedongan, Sleman, itu.

Selain di PGM Kaliurang, sirene manual yang sama terpasang di empat pos pengamatan Gunung Merapi lain, masing-masing di Ngepos dan Babadan (Magelang) serta Jrakah dan Selo (Boyolali). Triyono baru bertugas tiga bulan di PGM Kaliurang. Sebelumnya ia di Jrakah selama lima tahun.

Meskipun tua, sirene manual itu tak pernah macet. Beda dengan sirene awan panas milik Pemkab Sleman di barat Lapangan Wara (Kaliurang Barat) yang Senin pagi lalu mendadak bunyi. Korsleting. Penyebab korsleting karena kemasukan semut dan air yang rembes melalui kabel. Kepala Subbagian Sandi dan Telekomunikasi Pemkab Sleman Totok Sunyoto mengatakan, semut dan air memang persoalan lama. Dua bulan sekali sirene dicek. Namun, semut dan air selalu ada walau beragam upaya sudah dilakukan.

Bila sirene awan panas di Lapangan Wara mendadak bunyi, sirene peringatan dini awan panas di Tritis, Kaliurang, justru macet ketika hendak dibunyikan pada 17 Agustus lalu. Setrum tak cukup membunyikan sirene (semestinya 24 volt). Saat itu, kurang 1 volt saja.

Persoalan sekecil apa pun tetap masalah, apalagi untuk peringatan dini terkait evakuasi. Sirene peringatan dini awan panas dan lahar dingin semestinya berbunyi dengan pengoperasian jarak jauh. Frekuensi radio mengirim pesan melalui kotak mesin.

"Terlepas dari insiden kemarin, kami sudah menyiapkan sistem baru yang memungkinkan pengoperasian sirene dilakukan dari jarak lebih jauh. Misalnya, tak harus dari petugas di pos pengamatan Merapi, tetapi bisa juga oleh petugas di Pemkab," kata Totok.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com