Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Berteriak, Ke Mana Para Pemimpin?

Kompas.com - 27/08/2010, 14:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Perselisihan dengan Malaysia yang terjadi selama dua pekan terakhir seakan mengusik rasa nasionalisme. Masyarakat, baik individu maupun kelompok mulai bersuara lantang. Meminta Malaysia, negara yang selalu menyebut sebagai serumpun Indonesia, meminta maaf.

Pelanggaran kedaulatan dan tindakan tak menyenangkan terhadap petugas negara dirasa telah begitu menyinggung. Dorongan dan desakan agar Pemerintah bersikap tegas terus dilontarkan.

Pemerintah meminta agar tak ada yang meresponnya secara emosional. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR, Rabu lalu, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa juga meminta  pemerintah diberikan ruang yang luas untuk melakukan upaya diplomasi. Tindakan berlebihan dikhawatirkan semakin memicu ketegangan. Desakan Komisi I agar Pemerintah mendesak permintaan maaf, dipandang belum perlu. 

"Tak usah didesak, kita giring saja mereka meminta maaf," demikian jawaban Marty saat menanggapi permintaan Komisi I.

Puncaknya, pemerintah Malaysia mengeluarkan pernyataan keras : mempertimbangkan imbauan larang bepergian ke Indonesia bagi warganya. Pernyataan Menlu Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman ini merupakan respon atas aksi di depan Kedubes Malaysia di Jakarta yang diwarnai pelemparan kotoran manusia.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, "kemarahan" masyarakat yang diwujudkan dalam aksi itu bisa dipahami. Ia menilai, pemerintah tak mampu meredam emosi masyarakat dengan memberikan penjelasan secara terbuka langkah diplomasi yang dilakukan.

Presiden, kata Din, harus turun langsung memberikan pernyataan. Soal Malaysia merupakan tanggung jawab Presiden sebagai kepala negara.

"Berbagai bentuk gejolak, keresahan dan kegundahan, merupakan tumpukan masalah karena pemerintah tidak hadir. Pemerintah ghaib, abai, dan melakukan pembiaran," kata Din, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Tumpukan persoalan tanpa ada penjelasan transparan dari pemerintah dipandang memicu emosi masyarakat. Luar biasa penumpukan masalah yang kita hadapi.

"Ini semua karena kepemimpinan yang tidak hadir, pemerintah in absentia, dan akan meningkatkan frustasi di tubuh masyarakat. Tapi jangan kepasrahan rakyat justru membuat pemerintah diam saja," kata Din.

Meski demikian, Din mengimbau, masyarakat melakukan "imsak" untuk mengendalikan diri dan berharap perubahan yang lebih baik. Sebaliknya, pihak Istana juga diharapkan tak menanggapi sinis segala kritikan yang dilayangkan kepada Pemerintah.

"Jangan ditanggapi dengan sinisme. Sekarang ini, saya lihat orang-orang dekat Istana mulai menyinggung mengenai tokoh-tokoh, aktivis yang berbicara. Jangan membuat apologi-apologi yang justru menumpuk masalah," katanya.

Presiden tak bisa lagi menimpakan kesalahan kepada para pembantunya yang dinilai lamban merespon berbagai isu. Untuk persoalan dengan Malaysia yang berkaitan dengan kedaulatan negara, Presiden diminta langsung memimpin upaya penyelesaian agar persoalan tak meluas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

    Terpopuler

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com