Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memburu Penjahat "Genosida" Rwanda

Kompas.com - 19/08/2010, 17:27 WIB

Dunia terus memburu para penjahat kemanusian yang terkait kasus pembantaian etnis (genosida) di Rwanda.

Agustus tahun lalu, Gregoire Ndahimana ditangkap dalam operasi militer Kongo dan PBB terhadap kelompok pemberontak Hutu FDLR di kawasan Kivu utara. Semasa genosida di Rwanda tahun 1994, Ndahimana pemimpin kota Kivumu. Semua 6000 penduduk Tutsi di kota itu dibunuh.

Ndahimana harus menghadap ke tribunal, mempertanggungjawabkan pembunuhan 2000 warga Tutsi di sebuah gereja yang sengaja diratakan buldoser. Tahun 1994, sebanyak 800 ribu Tutsi Rwanda dan Hutu moderat dibunuh. Duabelas tersangka utama tribunal masih buron.

November 2009, dua pria Rwanda yang diduga melakukan kejahatan perang di Republik Demokratik Kongo telah ditangkap oleh polisi Jerman.

Ignace Murwanashyaka, 46, ditangkap di Karlsruhe dan wakilnya Straton Musoni, 48, ditangkap dekat Stuttgart, kata penuntut dalam satu pernyataan.

Mereka menyatakan kedua orang itu diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang sebagai pemimpin Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR), kelompok pemberontak Rwanda di wilayah Kongo yang memiliki hubungan dengan para ekstrimis Hutu di belakang pembasmian etnik 1994 atas rekan-rekan Tutsi mereka.

Penuntut menjelaskan, Muranashyaka telah menjadi ketua FDLR sejak 2001. Musoni menjadi wakil ketua sejak 2005. Mereka diduga di belakang kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap warga sipil di Kongo antara Januari 2008 dan Juli 2009.

Mereka mengatakan, para pemeriksa Jerman telah mengumpulkan bukti selama setahun terakhir.

Negara-negara Eropa rupanya menjadi tempat persembunyian bagi para penjahat perang itu. Tapi para pembela hukum dan kemanusiaan juga rupanya tak pernah "tidur" dan terus memburu mereka.

Rabu, 18 Agustus 2010, misalnya, Beberapa penuntut federal di Jerman mengatakan, mereka telah menuntut seorang bekas walikota Rwanda karena yang diduga keterlibatannya dalam genosida atau pembasmian etnis pada 1994 di negara itu.

Onesphore Rwabukombe, seorang etnik Hutu berusia 53 tahun, dituduh melakukan genosida, pembunuhan dan juga penghasutan untuk melakukan genosida dan pembunuhan, kata para penuntut dalam satu pernyataan, sebagaimana dikutip dari AFP.

Rwabukombe, bekas walikota sebuah kota di Rwanda utara, ditangkap oleh pihak berwenang Jerman bulan lalu. Tuduhan itu diajukan kepada pengadilan di Frankfurt pada 29 Juli lalu.

Pemerintah Rwanda menuduhnya terlibat dalam kampanye pembunuhan sistimatis pada 1994 yang menyebabkan sekitar 80.000 orang tewas, sebagian besar dari mereka etnik Tutsi.

Para penuntut Jerman itu mengatakan dalam satu pernyataan bahwa Rwabukombe datang pada tiga kesempatan dalam paruh pertama April 1994 bagi program melawan masyarakat Tutsi, dengan hasil bahwa sejumlah (tak terhitung) orang terbunuh.

Antara 11 dan 15 April 1994 tertuduh telah memerintahkan dan mengkoordinasikan tiga pembunuhan besar-besaran dimana total sedikitnya 3.730 anggota minoritas Tutsi yang telah berusaha meminta perlidungan di bangunan-bangunan gereja tewas, kata para penuntut itu.

Ia juga dituduh memerintahkan seorang pejabat setempat yang berpangkat lebih rendah untuk menolak para pengungsi Tursi yang berusaha mencari tempat perlindungan di rumahnya, sebaliknya mengancam untuk membunuh keluarganya. Sedikitnya satu dari para pengungsi itu kemudian tewas.

Itu adalah yang ketiga kalinya ia ditangkap di Jerman. Sebuah pengadilan Frankfurt telah memerintahkan pembebasannya pada November 2008 setelah empat bulan di dalam tahanan, dan ia diputuskan lagi bebas pada Mei 2009 setelah lima bulan karena kurangnya kepercayaan.

Surat perintah penangkapan Jerman yang baru telah dikeluarkan pada 21 Juli menyusul penyelidikan oleh penuntut federal.

Pembantaian di Rwanda, yang di dunia internasional juga dikenal sebagai genosida Rwanda, adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.

Rwanda sendiri adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah.

Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Beberapa sumber menyebutkan Juvenal Habyarimana tengah berada di dalam sebuah helikopter pemberian pemerintah Perancis. Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi. Sebagian sumber menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat jenis jet kecil Dassault Falcon.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993. Untuk diketahui, Habyarimana menjadi presiden Rwanda sejak tahun 1993. Sebelumnya ia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.

Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.

Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya memuncak menjadi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri. Habyarimana akhirnya dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya ketika mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter) pemberian Presiden Perancis Francois Mitterand

Pembunuhan Massal Peristiwa tragis penembakan Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya. Lebih mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh tempat di Rwanda langsung diblokade.

Pasukan khusus Pengawal Presiden dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.

Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa mempedulikan status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun terlibat dalam negosiasi piagam Arusha.

Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Paling umum saat itu hanyalah ditimbun dengan tanah sekedarnya. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad warga tak berdosa korban konspirasi keji. Dikatakan konspirasi, karena kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini dilakukan pemimpin Front Patriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu Paul Kagame. Usai pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden mengantikan Habyarimana.

800.000 jiwa Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi menjadi korban pembantaian. Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota Nyarubuye berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa dan Hutu) tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak banyak jumlahnya.

Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional.

Kenyataan ini sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Ketika konfrensi tentang pembantaian etnis dilaksanakan di Kigali tahun 2004, disebutkan secara jelas, forum menunjuk Amerika Serikat, Belgia, Perancis dan Inggris berada di balik tragedi pembantaian. Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan yang waktu lalu menjabat sebagai wakil komandan pasukan penjaga perdamaian di Rwanda tak luput mendapat sorotan. Terutama setelah ia mendapat Penghargaan Nobel untuk bidang perdamaian.

Juga disebutkan, veto dari Dewan Keamanan PBB yang akhirnya menurunkan jumlah pasukan penjaga perdamaian dari 2500 personil menjadi 450 personil tidak mampu mengatasi masalah. "Pihak luar gagal mencegah pembantaian selama 100 hari di Rwanda" kata Presiden Paul Kagame sebelum memimpin upacara mengheningkan cipta. (berbagai sumber)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com