Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Matinya Vuvuzela

Kompas.com - 18/06/2010, 11:04 WIB

Ekspresi murung tanda berkabung terlihat jelas di wajah-wajah suporter Afrika Selatan (Afsel). Sebagian besar mereka bahkan telah menggantung vuvuzela, terompet khas Afsel yang selama ini bagai ”senjata tambahan” tim Bafana Bafana, di tangan. Sebelum laga berakhir, mereka mulai meninggalkan tribune stadion.

Dua gol striker Uruguay, Diego Forlan, satu tendangan indah dari luar kotak penalti pada menit ke-24 dan satu lagi tendangan penalti menit ke-80, menjadi bencana bagi Afsel. Pada injury time, ketika moral pemain Afsel sudah hancur, gelandang kiri Alvaro Pereira memperbesar kemenangan Uruguay.

Afsel kehilangan kiper utama, Itumeleng Khune, pada menit ke-76 karena menjatuhkan striker Luis Suarez di kotak penalti. Kiper pengganti Moneeb Joseph belum siap saat diturunkan dan dalam waktu kurang dari 20 menit kebobolan dua gol.

Kekalahan terbesar

Kekalahan Afsel 0-3 ini merupakan kekalahan terbesar tuan rumah Piala Dunia sejak 1970 ketika tuan rumah Meksiko kalah 1-4 dari Italia. Bedanya, jika waktu itu Meksiko kalah di babak perempat final, kekalahan Afsel ini mereka terima saat masih di penyisihan grup. Afsel terancam kandas dan berpotensi menjadi tuan rumah Piala Dunia pertama yang tersingkir di penyisihan grup.

Namun, Pelatih Afsel Carlos Alberto Parreira tidak mau menyerah. ”Kami kalah pada laga yang seharusnya berakhir minimal imbang. Hasil ini bukan cermin sesungguhnya jalannya pertandingan. Jika bisa mengalahkan Perancis 1-0, kami bisa melaju (ke babak 16 besar),” ujar pelatih asal Brasil itu saat jumpa pers seusai laga.

Meski peluang itu belum tertutup, posisi Afsel memang kritis. Tidak saja mereka kebobolan banyak gol—catatan gol menjadi kriteria seleksi pertama jika dua tim atau lebih memiliki poin sama—tetapi juga bergantung pada hasil laga lain Grup A, antara Meksiko dan Perancis, di Polokwane, Jumat dini hari WIB tadi.

Pada laga terakhir, 22 Juni, Afsel menghadapi Perancis di Bloemfontein. Parreira tentu berharap Perancis menang atas Meksiko karena dengan hasil itu, peluang timnya masih sedikit terbuka. Jika Meksiko menang, dikhawatirkan ada ”main mata” antardua tim Benua Amerika, Meksiko dan Uruguay, pada laga terakhir untuk sama-sama lolos.

Uruguay menang kelas

Saat jumpa pers, Parreira menyatakan kekecewaannya atas kepemimpinan wasit Massimo Busacca (Swiss) terkait keputusannya memberi penalti untuk Uruguay dan mengusir Khune. ”Ia wasit terburuk yang pernah ada sejak turnamen ini dimulai. Ia seharusnya tidak hadir di sini,” ujar pelatih asal Brasil itu.

Terlepas dari keberatan Parreira, harus diakui di lapangan bahwa Uruguay bermain lebih baik dan satu level di atas Afsel. Pelatih Uruguay Oscar Tabarez mengubah strategi timnya saat main imbang 0-0 melawan Perancis menjadi taktik menyerang dengan pola agresif 4-3-3. Ia memasukkan striker Edinson Cavani untuk diduetkan dengan Suarez, sementara Forlan diposisikan agak ke dalam.

Hasilnya, beberapa skema serangan yang ampuh, tajam, menggigit, dan sering memorak-porandakan kini belakang tuan rumah Afsel.

Pertahanan tuan rumah begitu terbuka ketika Forlan menggiring bola di luar kotak penalti dan melepaskan tendangan yang menembus gawang Afsel pada menit ke-24.

Sebaliknya, Afsel dengan pola 4-5-1 terlihat kehilangan akal untuk menembus pertahanan Uruguay yang dilapis dua gelandang, Diego Perez dan Egidio Arevalo. Mereka tidak mampu menekan, hanya bermain-main bola di daerahnya sendiri dan sering melakukan back pass. Aaron Mokoena dan kawan-kawan cenderung menunggu dan tidak berinisiatif menusuk jantung pertahanan lawan.

Ketika kesempatan menyerang itu didapat, mereka terburu- buru melepaskan tembakan. Striker Katlego Mphela terlihat malas bergerak, membuat lini tengah Afsel kebingungan memberi umpan. Ia mendapat satu peluang umpan silang, tetapi tandukannya melebar.

Tidak maksimal

Play maker Steven Pienaar juga tampil tidak maksimal. Itu sebabnya, ketika Afsel butuh kiper menyusul diusirnya Khune, gelandang Everton itu yang diganti Pelatih Parreira.

”Yang terpenting saat ini adalah melupakan yang terjadi malam ini dan mempersiapkan diri untuk laga berikutnya,” kata Mokoena kepada wartawan di mixed zone, termasuk Kompas.

Kekalahan telak Afsel itu seolah menjadi kado buruk bagi warga Afsel yang hari itu merayakan Hari Pemuda, peringatan atas perlawanan anak-anak muda Afsel di Soweto tahun 1976. Peristiwa tersebut ikut memberi andil bagi runtuhnya rezim apartheid Afsel. 

(Mh Samsul Hadi dari Pretoria, Afrika Selatan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com