Warga Okinawa menyebut diri sebagai ”uchinanchu”, berbeda dengan warga Jepang lain yang disebut ”yamato unchu” atau ”naicha”. Warga Okinawa hingga kini seperti warga kelas dua di Jepang. Diskriminasi terjadi meski tak setajam masa lalu.
Sejarawan Matsumura Toshio yang sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Tokyo mengatakan, kehidupan di Okinawa keras sehingga warga harus merantau ke kota Tokyo dan Osaka untuk mencari sesuap nasi. Warga Okinawa hidup sebagai nelayan atau petani marjinal di kampung halaman.
”Sebelum Perang Dunia II terasa betul ada diskriminasi terhadap warga Okinawa oleh warga Jepang dari pulau besar seperti Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Warga Okinawa memiliki dialek tersendiri yang berbeda dengan mayoritas warga Jepang di pulau-pulau besar,” kata Toshio.
Mereka pun tinggal berkelompok untuk dapat bertahan hidup di perantauan. Kebiasaan merantau ke luar negeri juga dilakukan orang Okinawa.
Menurut Toshio, sebagian besar warga keturunan Jepang (Nisei) di Brasilia berasal dari kepulauan Okinawa.
Perlakuan berbeda juga diterapkan kepada warga Okinawa yang diwajibkan membawa paspor saat meninggalkan wilayah mereka untuk memasuki pulau-pulau utama di Jepang. Analis politik Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Atsushi Sano, menjelaskan, kebijakan itu berlaku hingga akhir masa pendudukan militer Amerika Serikat (AS) di Okinawa selepas Perang Dunia II.
”Kewajiban itu dihapus awal tahun 1970-an. Pendudukan Amerika berlangsung tiga dasawarsa lebih di sana,” kata Sano.
Pada awal abad ke-19, Kepulauan Ryukyu merupakan daerah perluasan pengaruh kerajaan Tiongkok dan kerajaan Jepang. Wilayah itu sempat berdiri sendiri sebagai kerajaan Ryukyu.