YEREVAN, KOMPAS.com -
Para sejarawan memperkirakan sekitar 1,5 juta warga Armenia dibantai oleh Turki Ottoman, yang saat itu merupakan penguasa utama kawasan. Pembantaian berlangsung selama Perang Dunia I (1914-1918).
Pihak Turki membantah telah melakukan genosida. Mereka menambahkan, jumlah korban telah digelembungkan. Turki mengatakan, warga Armenia yang tewas kala itu adalah korban perang sipil dan kerusuhan sosial.
Para warga Yerevan dan kawasan lainnya serta perwakilan Armenia diaspora melakukan pawai ke sebuah bukit di sekitar ibu kota Yerevan. Sejumlah plakat bertuliskan, ”Tak seorang pun atau kejadian itu tidak akan pernah bisa dilupakan!” dan ”Genosida tak pernah pupus!”
Presiden
Armenia Serge Sarkisian melukiskan genosida itu sebagai tidak pernah terjadi sebelumnya dalam skala jumlah korban, juga dalam konteks kekejaman serta konsekuensinya.
Pembantaian dimulai pada 24 April 1915 dengan pengumpulan sekitar 800 intelektual Armenia, yang kemudian dibunuh.
Otoritas Ottoman kemudian menciduk para warga Armenia dari rumah-rumah dan kemudian membantai dengan tujuan pembersihan etnis Armenia. Para ahli melihat kasus ini sebagai genosida pertama yang terjadi dalam sejarah abad ke-20.
”Kita berterima kasih kepada banyak orang di banyak negara, termasuk Turki, yang mengerti tentang pentingnya menghindari kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Sarkisian.
Sejumlah negara di dunia telah mengakui kejadian di Armenia itu sebagai genosida, antara lain Uruguay, Cile, Argentina, Rusia, Kanada, Lebanon, Belgia, Yunani, Italia, Vatikan, Perancis, Swiss, Slowakia, Belanda, Polandia, Lituania, dan Siprus.
AS juga sudah dalam proses pembuatan sebuah undang-undang yang menyatakan kejadian itu sebagai genosida. Konsekuensinya adalah gangguan dalam hubungan diplomatik.
Pihak Turki sudah memperingatkan, jika Pemerintah AS gagal mencegah hal tersebut, hubungan diplomasi kedua negara akan terganggu.
Bulan lalu, parlemen Swedia juga menyetujui hal tersebut sebagai genosida. Hal ini menambah buruk hubungan normalisasi Turki-Armenia, yang tahun lalu sudah dicoba dirajut kembali.
Armenia dan Turki pada Oktober 2009 sudah menandatangani perjanjian rekonsiliasi, yang bisa berakibat pada pembukaan kembali perbatasan kedua negara.
Turki menutup perbatasan ke Armenia pada 1993 sebagai protes atas perang separatisme di kawasan Nagorno-Karabakh, yang didukung Armenia. Kawasan ini ada di wilayah Azerbaijan, tetapi didominasi etnis Armenia. Turki adalah sekutu Azerbaijan. (AP/AFP/REUTERS/MON)