Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiada Kata "Maaf" Meluncur dari Mulut Sarkozy

Kompas.com - 01/03/2010, 07:50 WIB

Pascal S Bin Saju

KOMPAS.com – Perancis mengaku telah melakukan kesalahan besar dalam kasus pembantaian massal terhadap sekitar 800.000 warga etnis minoritas Tutsi di Rwanda, Afrika, pada 1994. Meski begitu, tidak ada ”permohonan maaf ” dari Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dalam kunjungannya ke Kigali, ibu kota Rwanda, Kamis lalu.

Sarkozy tiba di Kigali disambut Presiden Paul Kagame yang selalu menuding Paris berada di balik genosida itu. Hubungan diplomatik keduanya putus pada 2006 setelah hakim antiterorisme Perancis menuding Kagame sebagai otak tewasnya presiden sebelumnya, Juvenal Habyarimana—peristiwa yang diyakini memicu genosida.

Sarkozy menjadi presiden pertama Perancis yang mengunjungi Rwanda sejak pembantaian massal itu. Kunjungan ini sekaligus merekatkan kembali hubungan baik yang secara formal sudah dibuka tiga bulan lalu setelah tiga tahun merenggang. Mereka mengadakan jumpa pers bersama, lalu mengunjungi tempat-tempat kenangan genosida.

Menurut Sarkozy, Perancis memegang peranan besar dalam periode pragenosida di Rwanda. Dua tahun lalu Sarkozy juga pernah mengatakan, ada banyak ”kegagalan dan kesalahan” Perancis dalam kasus itu. Namun, Sarkozy tidak bertindak sejauh Belgia dan AS yang telah menyampaikan penyesalan dan maaf atas genosida itu.

Sarkozy, didampingi rombongannya, termasuk Menteri Luar Negeri Bernard Kouchner dan dua menteri Rwanda, lalu mengunjungi museum sejarah genosida. Dia pun tetap diam ketika pemandu mencoba mengalihkan perhatiannya agar mau menyampaikan kata ”maaf” atas kesalahan yang dilakukan Perancis.

Pemandu sempat menunjukkan potret mantan Sekjen PBB Koffi Annan. Sambil menunjuk potret Annan, dengan tegas pemandu mengatakan, ”Ia meminta maaf atas kegagalan masyarakat internasional mencegah pembasmian suku Tutsi pada 1994.” Sarkozy juga tidak terpancing sedikit pun untuk meminta maaf.

Menyusul pengakuan bahwa Perancis telah melakukan kesalahan, Sarkozy memang tidak meminta maaf seperti dilakukan komunitas internasional lainnya. Dia justru meminta semua pelakunya dihukum berat, baik yang berada di Rwanda maupun mereka yang diduga kuat masih bersembunyi di Paris dan kota lain di Perancis.

Ketika mengunjungi pusat peringatan genosida di Kigali, dia menulis pada buku tamu. ”Atas nama rakyat Perancis, saya menaruh hormat kepada para korban genosida dari suku Tutsi”. Dia mengamati dalam diam selama beberapa menit di depan salah satu dari 14 kuburan massal yang menampung 250.000 korban dan menaruh karangan bunga.

Sarkozy mengatakan, ”Apa yang terjadi di sini tidak dapat diterima.” Komunitas internasional, termasuk Perancis, telah gagal mencegah dan menghentikan kekejian di Rwanda. Perancis berperan besar sebelum genosida dan seluruh dunia ”buta” karena gagal melihat ”dimensi genosida pemerintah” yang mengatur pembantaian.

Apa sebab Sarkozy tidak menyampaikan maafnya atas kesalahan yang telah dilakukan Perancis terkait genosida itu? Tidak ada penjelasan verbal yang eksplisit dari Presiden Perancis itu sehingga sulit juga untuk mengetahui latar belakang mengapa dia tidak meminta maaf atas pembantaian yang terjadi dalam waktu hampir 100 hari itu.

Sebelum mengerti mengapa Sarkozy tidak menyampaikan kata ”maaf”, mungkin baik untuk terlebih dahulu memahami apa yang disebutnya ”dimensi genosida pemerintah” (the genocidal dimension of the goverment). Juga tidak ada penjelasan rinci tentang ungkapan Sarkozy ini, termasuk pemerintah mana yang dimaksudnya.

Pembantaian massal oleh etnis Hutu radikal terhadap etnis minoritas Tutsi dan etnis Hutu moderat diduga kuat sebagai reaksi atas jatuhnya pesawat Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana. Pesawat presiden tertembak roket pemberontak pada 6 April 1994. Sehari setelahnya, 7 April, hampir 17 tahun silam, terjadilah pembantaian itu.

Berdasarkan catatan diketahui, Perancis terlibat dalam upaya memberikan zona aman dalam kasus pembantaian massal pada 1994 di Rwanda melalui Operasi Turquoise. Operasi yang dimulai pada Juni 1994 itu dinilai terlambat dan terlalu singkat karena aksi pembantaian sudah merebak sejak 7 April, dua atau hampir tiga bulan berlalu.

Tampaknya dalam konteks itulah memahami kata-kata Sarkozy bahwa Perancis telah melakukan kesalahan. Dari sudut ini juga bisa dimengerti mengapa ada ”dimensi genosida pemerintah”—kalau itu dilihat dari perspektif Perancis. Namun, Sarkozy tidak menyebut ”pemerintah” hanya untuk merujuk Pemerintah Perancis.

Lantas apa? Dari beberapa referensi diketahui, kepentingan politik lebih mendominasi konflik Rwanda ketimbang sekadar perkelahian antarsuku Hutu dan Tutsi. Sebagian besar pelaku pembantaian merupakan pendukung utama partai berkuasa saat itu, Gerakan Nasional Republik untuk Demokrasi dan Pembangunan (MRND).

Sebagian lain berasal dari aliansi Koalisi Pertahanan Republik (CDR), sebuah partai eksklusif Hutu. Dua kelompok itu oleh pemerintah diberi wewenang untuk membantu milisi dalam perjuangan melawan musuh pemerintah. Mereka, antara lain, ditugasi memburu etnis Tutsi yang dituduh sebagai anggota atau pendukung partai pemberontak, Front Patriotik Rwanda (RPF).

Dari situ diketahui ternyata ada juga ”dimensi genosida Pemerintah Rwanda”. Mungkin dalam konteks ini Sarkozy tidak mau menyampaikan ”permohonan maaf” seorang diri kecuali kalau rekannya, Kagame, sudah lebih dahulu menyampaikan permohonan maaf dan juga mengakui kesalahannya. (AFP/AP/REUTERS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com