Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Napak Tilas Karawang-Bekasi dengan Sepeda Tua

Kompas.com - 13/02/2010, 14:45 WIB

KOMPAS.COM - Sembilan Desember 1947. Rawagede membara. Rawagede menangis. Rawagede berdarah. Empat Oktober 1948, Rawagede kembali berantakan. Kemudian, dari tangan si “Binatang Jalang” lahirlah sebuah puisi yang menggetarkan bahkan hingga detik ini. Karawang-Bekasi, begitu sang penyair memberi judul pada puisinya itu. Rawagede, Karawang, kini masih berdiri tegar. Puisi untuk mengenang tulang-tulang yang berserakan di Karawang-Bekasi, tulang-tulang hasil pembantaian tentara NICA Belanda.

 Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi, tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak. Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan…”

Demikianlah beberapa bait puisi karya Chairil Anwar yang lahir di tahun 1948, lahir sebagai perwakilan dari jeritan, kepedihan, kesakitan, kehilangan kerabat korban, bahkan jiwa-jiwa korban itu sendiri. Lahir untuk mengenang ribuan jiwa yang melayang dan tubuh yang terkubur antara Karawang-Bekasi.

Rawagede di masa revolusi fisik, adalah markas gabungan pejuang kemerdekaan. Desa ini dipilih karena letak yang strategis, Karawang-Rengasdengklok. Sebagai peringatan atas peristiwa di Rawagede, sebuah monumen dibangun, Monumen Rawagede di Desa Balongsari, Karawang. Selain itu, ada beberapa gedung bersejarah terkait masa revolusi di Karawang-Bekasi seperti Gedung Joang 45 di Tambun, dan Gedung Tinggi Tambun.

Tapi Karawang-Bekasi tak hanya soal perjuangan. Karawang-Bekasi punya kisah yang panjang, jauh sebelum ada peristiwa Rawagede, yaitu sejarah terbentuknya Karawang dan Bekasi.

Bekasi di masa silam dikenal dengan nama Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai ibu kota Kerajaan Tarumanagara (358-669). Luas Kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Situs pemkot Bekasi menjelaskan, letak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai ibu kota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang. Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan raja-raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragumulya (1567-1579 M), Raja Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir.

Empat prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kebantenan ditemukan di Bekasi. Keempat prasasti ini merupakan keputusan dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521) yang ditulis dalam lima lembar lempeng tembaga. Sejak abad ke-5 pada masa Kerajaan Tarumanagara, abad ke-8 Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).

Sementara itu Karawang sudah ada sejak abad 15. Catatan sejarah milik Pemkab Karawang menyebutkan, agama Islam masuk ke Karawang dibawa oleh Syeikh Hasanudin bin Yusup Idofi dari Champa yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro. Pada masa itu daerah Karawang sebagian besar masih merupakan hutan belantara dan berawa-rawa.

Keberadaan Karawang telah dikenal sejak Kerajaan Pajajaran karena merupakan jalur lalu lintas penghubung Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan Galuh Pakuan yang berpusat di daerah Ciamis. Pada waktu itu luas wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Purwakarta, Subang, dan Karawang sendiri .

Untuk mengenang peristiwa Karawang-Bekasi, sekaligus merayakan HUT kedua Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI)  pusat, HUT pertama KOSTI Jabodetabek dan Karawang, KOSTI Jabodetabek dan Karawang menggelar “Napak Tilas Pangkal Perdjoengan Karawang-Bekasi” pada 20 Februari. Acara ini akan berisi napak tilas Karawang-Bekasi sepanjang sekitar 45 km menggunakan sepeda ontel.

Selain itu akan ada penanaman pohon pelindung, pameran sepeda antik, klithikan ontel, pentas seni dan budaya, serta pemecahan rekor MURI untuk parade ontel terpanjang sedunia. Acara tersebut dipusatkan di Lapangan Karang Pawitan, Karawang, mulai pukul 09.00 hingga sore hari.

“Juga ada konvoi ontel, 2.000 sepeda tua dari Karawang ke Bekasi. Kita mulai sekitar pukul 3 sore dari Karawang dari depan Islamic Center, diperkirakan finish pukul 8 malam di balai kota Bekasi. Konvoi ini juga akan diikuti Wali Kota Jakarta Selatan, Bupati Indramayu, dan juga pejabat-pejabat Karawang dan Bekasi,” ujar Acep Suganda, salah satu panitia.

Ia menambahkan, Andi Malarangeng dijadwalkan melepas konvoi sepeda Karawang-Bekasi itu.

Konvoi itu terbagi dalam tiga etape, Karawang-Cikarang, Cikarang-Tambun, dan Tambun-Bekasi. Peserta ditarik bayaran Rp 25.000/orang. Untuk informasi dan pendaftaran, lanjut Acep, bisa ke Gedung Juang 45 Tambun di Jalan Diponegoro, Bekasi atau Kompleks Stadion Singa Perbangsa di Jalan Ahmad Yani, Karawang. “Atau bisa juga langsung ke panitia lewat telepon atau SMS,” imbuhnya. Antara lain Oki di 08128 821 1992 dan Taufik di 021 7061 2008.  

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com