Palembang, Kompas -
Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Dadang Heru Kodri mengatakan hal itu di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (8/2).
”Hingga awal 2010 Pusri tak kunjung mendapat kepastian
Dadang menyadari, mayoritas gas alam yang dieksploitasi Pertamina sudah menjadi komoditas ekspor. Sementara pengguna gas di dalam negeri tidak hanya Pusri. Gas digunakan pula oleh PT PLN dan PT Pertamina sendiri.
Dengan mempertimbangkan kondisi persaingan penggunaan gas alam tersebut, sekaligus tren harga jual yang terus meningkat, mau tidak mau PT Pusri harus mencari bahan baku pengganti gas alam. Menurut Dadang, batu bara merupakan pilihan yang paling sesuai.
”Coba lihat China, India, dan Arab Saudi yang sudah bisa menggunakan batu bara sebagai bahan baku urea. Caranya, batu bara harus diolah agar bisa menjadi sintesis gas,” ujar Dadang.
Dadang memastikan penggunaan batu bara sangat mungkin diterapkan di Pusri. Namun, transfer teknologi ini membutuhkan biaya dan waktu.
Mengenai biaya, butuh sekitar 250 juta dollar AS untuk membangun satu mesin pengolah batu bara ke gas. Sementara waktu yang dibutuhkan mulai dari pembangunan awal sampai mesin siap beroperasi sekitar tiga tahun.
Batu bara akan menjadi pilihan bahan baku urea yang sesuai jika harga gas alam sudah melebihi 8 dollar AS per MMBTU (
”Harus diakui, penerapan teknologi pengolah batu bara ke gas butuh dana investasi besar. Namun, jika mempertimbangkan stok batu bara di Sumsel yang melimpah, proses selanjutnya bisa lebih hemat,” kata Dadang.
Manajer Hukum dan Humas PT Pusri Zain Ismed menambahkan, Pusri harus terus beradaptasi agar tetap bertahan. Apalagi, perusahaan pupuk berusia 50 tahun itu masih dibayangi sejumlah masalah, mulai dari ketidakpastian pasokan gas hingga tantangan revitalisasi.
”Terkait produk, Pusri sedang mengembangkan formula pemupukan untuk mencapai produktivitas tinggi, dengan tidak merusak unsur hara. Salah satunya, memadukan penggunaan NPK dengan pupuk organik,” ujar Dadang.