Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keahlian di Balik Sayap F-16

Kompas.com - 26/01/2010, 03:11 WIB

Oleh Edna C Pattisina

Keputusan jitu yang diambil dalam sepersekian detik di udara membutuhkan persiapan berjam-jam dan latihan bertahun-tahun. Di samping kemampuan fisik yang dijaga setiap hari, ada ratusan orang di belakang sebuah pesawat yang menjaga kelaikan pesawat itu agar bisa terbang dengan aman dan maksimal.

Seperti hari itu, 30 Desember, hari terakhir latihan pada 2009. Misi hari itu disebut Redwolf Flight, sesuai dengan nama pemimpinnya, Fajar ”Redwolf” Adriyanto, yang didampingi Mayor Yulmaizir, adalah latihan air surface attack di kawasan Lumajang. Skenario latihan, ada target yang harus dihancurkan di jarak 1.000 kilometer dari pangkalan. Lettu Pandu Eka dan Kapten Bambang Apriyanto sudah mempersiapkan diri sejak malam sebelumnya.

Ada dua pesawat yang dikerahkan untuk misi hari itu. Awalnya, kedua pesawat itu akan terbang di ketinggian normal, yaitu 25.000 kaki. Mendekati sasaran, untuk menghindari radar, ketinggian diubah hanya 500 kaki di atas tanah. Radar memang dapat dihindari, tetapi ada bukit-bukit yang menjadi halangan. Sementara sasaran harus secepat mungkin dibereskan.

”Pagi-pagi kami brifing dengan tutor, secara rinci manuver-manuver seperti apa yang harus dilakukan,” cerita Kapten Bambang Apriyanto. Sebelum bertemu tutor, ada brifing pangkalan untuk mengetahui jadwal latihan hari itu serta kondisi cuaca dan arahan dari Komandan Lanud Iswahjudi Marsekal Pertama TNI Bambang Samoedro.

Tes kesehatan

Sementara mereka berdiskusi, para teknisi sudah mempersiapkan pesawat. Ada sekitar 180 orang di Skuadron Udara 3 yang menjadi sistem pendukung dari para pilot itu. Diperlukan kira-kira satu setengah jam untuk before flight inspection dan preflight inspection.

Setelah brifing, saatnya cek kesehatan. Dokter jaga mengukur denyut nada dan tekanan darah serta mengajukan pertanyaan, mulai dari soal ”apakah sedang batuk atau pilek” hingga ”apakah sedang bermasalah dengan pasangan”. ”Kalau tidak memenuhi syarat kesehatan, ya tidak boleh terbang,” kata Kapten (Kes) dr Tri Supriyanto.

Tes kesehatan harian sama wajibnya dengan tes indoktrinasi latihan aerofisiologi (ILA) yang diadakan dua tahun sekali. Penerbang dimasukan ke ruang tertutup yang kondisinya sama seperti di ketinggian 25.000 kaki. Tes ini untuk melihat batas ketahanan akan hipoksia, yaitu keadaan di mana tubuh kekurangan oksigen akibat perubahan ketinggian. ”Kita disuruh menghitung dan simulasi gerakan pesawat, sampai di mana pikiran kita masih bisa mengambil keputusan,” cerita Letkol Fajar ”Redwolf” Adriyanto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com