Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan dari Kiribati

Kompas.com - 22/12/2009, 04:19 WIB

 GESIT ARIYANTO

Apa yang akan terjadi bila permukaan laut terus naik hingga setengah meter? Penduduk negara pulau kecil Kiribati punya jawabannya. ”Kami akan tersebar ke berbagai negara lain, bukan di negara kami,” kata Tessie Eria Lambourne, salah satu staf Departemen Luar Negeri Kiribati, pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark.

Kiribati adalah sebuah negara dengan penduduk kurang dari 130.000 jiwa yang tersebar di 33 pulau kecil, seperti pulau di Kepulauan Seribu. Tak ada bukit yang bisa menampung mereka jika muka air laut naik.

Ibaratnya, Kiribati adalah rumah dengan halaman depan dan belakang berupa samudra luas. Pulau itu berada di tengah Samudra Pasifik atau di sebelah barat laut Papua Niugini.

Untuk sampai ke lokasi konferensi yang dihadiri delegasi dari 190 negara, delegasi Kiribati harus menempuh perjalanan ribuan mil, singgah di Sydney, Australia, lalu Bangkok, Thailand, sebelum melanjutkan perjalanan 12 jam di udara menuju Kopenhagen yang sedang musim dingin.

Secara khusus, Kiribati mengisi acara sampingan di Bella Center. Paparan diselingi sebuah tarian tradisional dengan satu penari diiringi musik dari cakram digital yang sesekali macet. Mereka berbagi kisah keseharian penduduk pulau yang ceria dengan fakta dampak perubahan iklim, yang secara pelan tapi pasti akan menelan mereka. Sebagai negara di atas karang atol, persoalan ketersediaan air tawar bersih adalah tantangan terbesar yang butuh solusi.

Kenaikan muka laut berdampak pada intrusi air laut yang mencemari danau berisi air bersih penampung air hujan. Data WHO tahun 2008 menunjukkan, tingkat kematian bayi akibat minimnya air bersih di Kiribati mencapai 10 bayi per 1.000 bayi di bawah lima tahun.

Jumlah itu hanya kilasan dari beragam dampak perubahan iklim yang sudah dan sedang mereka hadapi. ”Untuk itulah kami datang kemari. Untuk sebuah kesepakatan bersama yang mengikat dan segera diterapkan,” kata staf kepresidenan Kiribati, Betarim Rimon.

Isu kemanusiaan

Pesan dari Kiribati jelas, bahwa perubahan iklim adalah isu kemanusiaan. Sebaliknya, bagi negara maju seperti diungkapkan Presiden AS Barack Obama, perubahan iklim adalah isu keamanan nasional.

Dua cara pandang yang berbeda itu sangat pas menggambarkan apa yang terjadi di dalam ruang persidangan. Sepekan berdebat, persidangan dua pekan itu belum menghasilkan kesepakatan yang adil, ambisius, dan mengikat seperti yang diharapkan banyak pihak di luar sidang.

Laporan Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) jelas, suhu global harus dijaga kestabilannya, tidak boleh lebih dari dua derajat celsius dari level suhu era industri 250 tahun lalu. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang di antaranya karbon dioksida dan metana, sebagai hasil industri tidak ramah lingkungan dan penggundulan hutan harus tetap di bawah level 450 part per million (ppm).

Komitmennya, negara-negara maju wajib mengubah pola pembangunannya menjadi rendah emisi melalui aplikasi teknologi ramah lingkungan. Negara maju (diharapkan) wajib menurunkan emisinya sebesar 40 persen pada tahun 2020 dari level tahun 1990.

Bersamaan dengan itu juga membantu negara-negara berkembang menurunkan emisinya secara sukarela dengan bantuan dana, teknologi, dan keahlian. Di Bella Center, adu argumentasi melibatkan AS dan China.

Pihak AS, yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto menyatakan bahwa China, sebagai salah satu negara berkembang dengan pesat, harus diwajibkan menurunkan emisi. China membalasnya dengan pernyataan bahwa AS lupa dengan sejarah emisi yang mereka hasilkan.

Dikejar waktu

Kegagalan dunia mencapai kesepakatan yang ambisius di Kopenhagen berarti berkejaran dengan waktu dampak perubahan iklim yang kian mematikan. Kenaikan suhu satu derajat celsius, bagi penduduk di kutub utara, adalah lelehnya hamparan es: rumah dan kultur mereka. Sebaliknya, terjadi genangan abadi di kawasan pesisir di seluruh dunia dari Banglades hingga pantai utara Jawa.

”Bagi kami, naiknya muka laut bukan hanya memicu pengungsian, tetapi migrasi. Pengungsi ada harapan akan kembali, tetapi ini tidak. Bersifat permanen,” kata Ronald Jumeau, perwakilan tetap Seychelles di PBB. Sama seperti Kiribati, Seychelles adalah negara di tengah Samudra Hindia. Isu perubahan iklim bagi mereka adalah isu kemanusiaan.

Di Afrika, jutaan jiwa terancam kekeringan yang kian mematikan. Petani dan nelayan Indonesia juga akan semakin sering gagal panen dan sulit menangkap ikan karena cuaca dan musim yang kian sulit ditebak.

Seperti disampaikan sejumlah perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal di sela-sela konferensi, perubahan iklim sebagai sebuah struktur dan bahan negosiasiyang mereka tak mengerti. Yang pasti, eksistensi mereka rapuh karena ada perubahan.

Sementara itu, hasil Persetujuan Kopenhagen ternyata tak ambisius, adil, dan mengikat, bahkan pembahasan mungkin masih berlanjut tahun depan. Berbagai pihak menyebut, inilah saat paling menentukan bagi masa depan dunia, di mana perubahan iklim menjelma menjadi isu paling panas untuk generasi sekarang.

Presiden Kiribati Anote Tong dalam telekonferensinya menyebut sebagai ”tantangan moral terbesar pada abad ke-21”. Kegagalan menjawab tantangan adalah jelas bagi Kiribati, negeri di garis depan dampak perubahan iklim. Juga bagi Indonesia.

GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com