Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan dari Kiribati

Kompas.com - 22/12/2009, 04:19 WIB

Dua cara pandang yang berbeda itu sangat pas menggambarkan apa yang terjadi di dalam ruang persidangan. Sepekan berdebat, persidangan dua pekan itu belum menghasilkan kesepakatan yang adil, ambisius, dan mengikat seperti yang diharapkan banyak pihak di luar sidang.

Laporan Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) jelas, suhu global harus dijaga kestabilannya, tidak boleh lebih dari dua derajat celsius dari level suhu era industri 250 tahun lalu. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang di antaranya karbon dioksida dan metana, sebagai hasil industri tidak ramah lingkungan dan penggundulan hutan harus tetap di bawah level 450 part per million (ppm).

Komitmennya, negara-negara maju wajib mengubah pola pembangunannya menjadi rendah emisi melalui aplikasi teknologi ramah lingkungan. Negara maju (diharapkan) wajib menurunkan emisinya sebesar 40 persen pada tahun 2020 dari level tahun 1990.

Bersamaan dengan itu juga membantu negara-negara berkembang menurunkan emisinya secara sukarela dengan bantuan dana, teknologi, dan keahlian. Di Bella Center, adu argumentasi melibatkan AS dan China.

Pihak AS, yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto menyatakan bahwa China, sebagai salah satu negara berkembang dengan pesat, harus diwajibkan menurunkan emisi. China membalasnya dengan pernyataan bahwa AS lupa dengan sejarah emisi yang mereka hasilkan.

Dikejar waktu

Kegagalan dunia mencapai kesepakatan yang ambisius di Kopenhagen berarti berkejaran dengan waktu dampak perubahan iklim yang kian mematikan. Kenaikan suhu satu derajat celsius, bagi penduduk di kutub utara, adalah lelehnya hamparan es: rumah dan kultur mereka. Sebaliknya, terjadi genangan abadi di kawasan pesisir di seluruh dunia dari Banglades hingga pantai utara Jawa.

”Bagi kami, naiknya muka laut bukan hanya memicu pengungsian, tetapi migrasi. Pengungsi ada harapan akan kembali, tetapi ini tidak. Bersifat permanen,” kata Ronald Jumeau, perwakilan tetap Seychelles di PBB. Sama seperti Kiribati, Seychelles adalah negara di tengah Samudra Hindia. Isu perubahan iklim bagi mereka adalah isu kemanusiaan.

Di Afrika, jutaan jiwa terancam kekeringan yang kian mematikan. Petani dan nelayan Indonesia juga akan semakin sering gagal panen dan sulit menangkap ikan karena cuaca dan musim yang kian sulit ditebak.

Seperti disampaikan sejumlah perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal di sela-sela konferensi, perubahan iklim sebagai sebuah struktur dan bahan negosiasiyang mereka tak mengerti. Yang pasti, eksistensi mereka rapuh karena ada perubahan.

Sementara itu, hasil Persetujuan Kopenhagen ternyata tak ambisius, adil, dan mengikat, bahkan pembahasan mungkin masih berlanjut tahun depan. Berbagai pihak menyebut, inilah saat paling menentukan bagi masa depan dunia, di mana perubahan iklim menjelma menjadi isu paling panas untuk generasi sekarang.

Presiden Kiribati Anote Tong dalam telekonferensinya menyebut sebagai ”tantangan moral terbesar pada abad ke-21”. Kegagalan menjawab tantangan adalah jelas bagi Kiribati, negeri di garis depan dampak perubahan iklim. Juga bagi Indonesia.

GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com