Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak TKI Terancam Buta Huruf

Kompas.com - 11/12/2009, 06:57 WIB

TAWAU, KOMPAS.com - Persoalan yang dihadapi tenaga kerja Indonesia di Malaysia tidak kunjung berakhir. Nasib mereka ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mereka tidak hanya menjadi korban penganiayaan dan tersandung kasus kriminal, tetapi juga tidak bisa menyekolahkan anaknya sehingga terancam buta huruf.

PASCAL BIN SAJU

Di Tawau, rombongan Komisi I yang dipimpin Hayono Isman menemui Konsulat RI Hadi Susanto. ”Persoalan itu benar-benar buruk dan tidak boleh dianggap sepele,” kata Fayakhun Andriadi, anggota Komisi I.

Fayakhun mulai peduli terhadap kehidupan TKI setelah dia terpilih menjadi anggota legislatif mewakili daerah pemilihan luar negeri. Dia mengaku konstituen utamanya adalah TKI di sejumlah negara, termasuk di Malaysia. Dua anggota Komisi I DPR yang juga ikut ke Tawau adalah Tantowi Yahya dan Achmad Basarah.

Jumlah TKI di Sabah saja sekitar 450.000 orang. Merujuk penjelasan Hadi Susanto, Fayakhun mengatakan, dari jumlah itu 318.000 di antaranya TKI ilegal. Mereka diberi upah mulai 300 ringgit (Rp 900.000) hingga 600 ringgit (1,8 juta) per bulan. Biaya sekolah 150 ringgit (Rp 400.000) per anak per bulan.

Biaya sekolah itu sangat mahal bagi TKI yang umumnya mendapat upah rendah. Sebab, selain menyekolahkan anak, mereka juga harus memikirkan biaya sewa kontrakan dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Akibatnya, ada 37.294 anak putus sekolah dan tidak bisa masuk sekolah atau terancam buta huruf.

”Jumlah anak tersebut belum termasuk yang tinggal di Serawak dan Semenanjung Malaysia. Pendidikan anak TKI ini harus menjadi perhatian serius,” jelas Fayakhun yang juga diamini Hayono Isman, Tantowi Yahya, dan Achmad Basarah.

Di Sabah sebanyak 40-80 lokasi konsentrasi TKI terutama di perkebunan sawit.

Namun, Hayono mengatakan, sekarang ada upaya terobosan dari Departemen Luar Negeri RI untuk mengatasi problem pendidikan anak TKI tersebut melalui Kedubes RI di Malaysia dan Konjen RI di Kinabalu.

Langkah itu dimulai dengan melatih TKI yang tamat SLTA atau setingkat, lalu diangkat menjadi tutor dan dibekali modul pelajaran untuk sekolah dasar. Kemudian mereka diterjunkan ke wilayah konsentrasi TKI di perkebunan sawit seluruh Sabah. Setiap lokasi bisa terdiri dari 50-100 keluarga TKI.

Pemerintah gagal

Fayakhun mengatakan, langkah itu dilakukan karena upaya formal sulit diwujudkan. Misalnya, usaha untuk sekolah formal tidak begitu mudah. Birokrasi dan persyaratan yang dimintakan sangat sulit dipenuhi dalam satu atau dua tahun.

Menunggu sekolah formal sangat lama, sedangkan usia anak terus bertambah. Komisi I memberikan apresiasi kepada Deplu yang memulai upaya membuka kelas informal meski masih sangat terbatas. Hayono juga belum bisa merinci perlu berapa tahun seorang anak sekolah informal dinyatakan lulus.

Sementara itu di Tawau, Kamis, 317.000 TKI ilegal ”menyerbu” kantor konsulat untuk mendapatkan fasilitas pemutihan status. Mereka menyerahkan dokumen sebagai persyaratan mendapatkan paspor gratis dari Pemerintah Indonesia melalui konsulat setempat.

Basarah dan Fayakhun mengatakan, Pemerintah Malaysia melakukan pemutihan status TKI ilegal setelah kaum oposisi terus menekan dalam berbagai propaganda. Pemerintah dinilai gagal menangani kasus tenaga kerja asing, antara lain tidak bisa menyelesaikan kasus TKI ilegal. Oposisi menyarankan pemutihan status ilegal itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com