Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Orang Jadi Teroris?

Kompas.com - 15/10/2009, 11:57 WIB

KOMPAS.com - Indonesia rawan terorisme. Bukan hanya jadi sasaran teror, sekaligus tempat persemaian yang subur bagi teroris. Ini merupakan hal yang layak kita renungkan. Kondisi psikologis seperti apa yang mendorong orang-orang muda berusia produktif itu menjadi teroris?

Terorisme dapat diartikan sebagai gerakan suatu kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Bila demikian, berarti terorisme dapat berupa gerakan dari penguasa maupun dan rakyat, tanpa membedakan siapa sasarannya.

Yang akan dibahas adalah terorisme dalam arti gerakan suatu kelompok bawah tanah yang dilandasi ideologi tertentu dalam melakukan perlawanan terhadap pemegang kekuasaan dengan melakukan aksi kekerasan atau ancaman terhadap keselamatan anggota masyarakat.

 Pengungkapan kasus-kasus terorisme di Indonesia menunjukkan, banyak orang muda berhasil direkrut menjadi anggota kelompok teroris. Di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditemukan fakta yang mengarah sebagai bukti adanya pembinaan terhadap orang-orang muda menjadi anggota teroris.

Padahal, terorisme pada umumnya berkembang di daerah-daerah yang secara sosial politik mengalami konflik atau penindasan. Antara lain terorisme di Irlandia (masa konflik Inggris-Irlandia), terorisme dalam konflik Israel-Palestina. Daerah-daerah terjadinya separatisme, seperti Aceh beberapa waktu lalu, juga Papua, merupakan daerah yang rawan terorisme.

Bila kondisi sosial-politik tidak cukup kuat menjadi alasan berkembangnya aksi teror, kita perlu lebih sungguh-sungguh menengok kondisi sosial psikologis yang mungkin melatarbelakangi perkembangan kelompok teroris. Kita perlu ambil bagian dengan membangun kondisi psikologis yang mendukung orang-orang muda mengembangkan diri secara konstruktif, tanpa jalan kekerasan.

Gambaran sekilas
Bila kita bayangkan, seorang teroris adalah sosok yang ambil bagian dalam penyerangan dengan senjata atau bom, entah sebagai penyusun strategi, perakit bom, pelaku penyerangan/peledakan, dan sebagainya. Mereka siap bertindak tanpa memedulikan penderitaan banyak orang yang menjadi korban.

Antara korban dengan teroris sejatinya tidak memiliki persoalan apa pun. Itulah yang kita saksikan dalam kasus, seperti bom Bali I dan II, dan pengeboman di Jakarta. Jadi siapakah sebenarnya musuh mereka? Tidak jelas.

Bila mereka bertindak dengan ideologi tertentu atas nama agama, adakah pihak yang menindas agama yang mereka bela? Bila ya, siapakah penindasnya? Mengapa mereka tidak langsung saja menyerang pihak-pihak yang secara riil menindas? Tampak bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya berhadapan dengan musuh, sehingga menyerang pihak yang bukan semestinya.

Bahwa tindakan itu dibalut rasa kepahlawanan, mungkin hanya merupakan mekanisme psikologis yang mereka ciptakan sebagai kompensasi atas ketidakberdayaan yang dialami. Bahwa mereka bertindak menyerang dengan sasaran yang bukan musuh ril, berarti mereka menyerang lebih karena kondisi psikologis yang dikuasai rasa permusuhan, tanpa objek yang jelas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com