Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rp 8 Miliar Mubazir, Wayang Revolusi Terancam Balik ke Belanda

Kompas.com - 02/09/2009, 15:36 WIB

PERNAH dengar Wayang Revolusi? Itu adalah wayang kulit karya dalang Keraton Mangkunegaran Surakarta, Mas Sayid, yang dibikin saat revolusi. Sejak tahun 1960 wayang ini disimpan di Belanda, tepatnya di Wereldmuseum Rotterdam. Empat tahun lalu Belanda mengembalikan wayang ini ke Indonesia melalui Museum Wayang, Jakarta. Warta Kota mencatat, status Wayang Revolusi dipinjamkan - pinjaman jangka panjang - oleh Belanda. Artinya, jika ternyata Indonesia tidak mampu merawat, maka wayang bisa kembali ke Rotterdam.

Harusnya, sekitar 90 wayang itu sudah dipamerkan bergantian di Museum Wayang sebagai karya masterpiece. Namun hingga kini hanya enam saja yang tampil. Selebihnya masih disimpan di Kedutaan Belanda karena di tahun 2005 belum ada vitrin (lemari/kotak penyimpan koleksi). Ketika akhirnya ada bantuan  lima vitrin dari Belanda, 2008, Wayang Revolusi masih juga belum berada di Museum Wayang.

Lima vitrin bikinan Indonesia itu ternyata belum memenuhi syarat konservasi, yaitu tidak ada pengontrol lingkungan (temperatur, kelembaban, cahaya) dan pencahayaan masih terlalu tinggi. Jika wayang itu dipaksakan masuk ke dalam vitrin ini, maka wayang akan menekuk. Mudahnya, cepat rusak. Di sisi lain, terlalu lama disimpan di Kedutaan Belanda, wayang pun berjamur.

Keberadaan lima vitrin super besar di Museum Wayang pun seperti tanpa perhitungan. Ruang koleksi museum terlalu kecil diisi lima vitrin besar tadi. Alhasil nantinya vitrin ini akan dipecah, tidak berada dalam satu ruangan karena hanya bikin sumpek. Yang lucu lagi, hingga hari ini, vitrin yang sudah berada di Museum Wayang sejak tahun lalu itu belum secara resmi diserahterimakan kepada pihak museum. Sumber Warta Kota mengatakan, lima vitrin itu adalah hibah dari Belanda dan tidak ada hubungannya dengan anggaran untuk pembangunan museum.

Hanya saja, pengadaan vitrin itu diserahkan pihak Belanda – sekaligus dilaksanakan – oleh pihak yang merancang pembangunan gedung baru Museum Wayang. Sayangnya semua itu tanpa komunikasi dengan pihak museum dan Balai Konservasi agar pembuatan vitrin sesuai dengan kebutuhan. “Padahal sudah ada contoh (vitrin) dari Belanda, tapi enggak tahu kenapa, vitrin yang sudah di Museum Wayang enggak sesuai dengan contohnya. Enggak ada climate control, pencahayaan masih terlalu tinggi. Saya yakin, yang bikin enggak tahu apa-apa tentang konservasi tapi main bikin aja,” ujar sumber tadi. 

Soal vitrin, ada lagi. Di gedung museum yang baru, rancangan vitrin dibikin menarik yaitu di tempatkan di sepanjang tembok sehingga ketika orang berjalan menuruni tangga, masih bisa menyaksikan koleksi. Tapi apa yang salah? Vitrin ini tidak dirancang untuk memudahkan keluar masuknya koleksi ketika petugas museum akan membersihkan koleksi. Plus, pencahayaan masih terlalu terang sehingga akan bikin cepat rusak koleksi. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi.

Selain kasus vitrin yang tak jelas kisahnya, Museum Wayang yang selama tahun 2007 dan 2008 menghabiskan sekitar Rp 8 miliar untuk pembangunan gedung hibah dari Probosoetedjo - di sebelah gedung lama - harus menerima kenyataan lift mangkrak. Ya, ada lift di museum ini. Ceritanya, sih, lift ini untuk penyandang cacat dan manula. Kenyataannya hanya untuk mengangkut/memindahkan koleksi seperi gamelan. Pasalnya, untuk manula dan orang cacat juga sudah tersedia jalur khusus berupa jalur landai.

Merancang dan menentukan keberadaan lift di museum semestinya melalui proses menghitung berapa banyak penyandang cacat, cacat apa – bukankah tak semua penyandang cacat memerlukan lift - dan berapa banyak manula yang mampir ke museum ini rata-rata dalam sebulan. Dana Rp 8 miliar tampaknya mubazir, museum itu tak lantas menjadi "wah". Tetap saja kusam. Atap pun sudah retak-retak. Ditambah masalah vitrin, baik vitrin di gedung maupun vitrin hibah dari Belanda. Lengkap sudah segala rancangan dan pembangunan yang sepertinya dikerjakan tanpa memahami apa yang dibikin, untuk apa itu dibikin, di lingkungan apa itu dibuat.

Tampaknya banyak pihak harus kembali berpikir, benarkah kita sanggup memelihara Wayang Revolusi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com