Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makin Redup Wayang Poo The Hie

Kompas.com - 13/11/2008, 11:32 WIB

Malam akhir pekan di awal November yang masih gersang, di seonggok Jalan Pasar Lama di kawasan Jakarta Timur, orang ngariung. Bukan cuma sekadar ngariung sambil ngobrol ngalor ngidul di lahan yang di pagi hingga sore hari menjadi pasar nan riuh.

Sekumpulan orang tadi bagaikan terseret magnet panggung berwarna serba merah yang terpasang persis di dekat pintu masuk Vihara Amurva Bhumi. Semua mata tak lepas dari panggung merah tadi. Kebanyakan dari mereka tak tahu apa apa, sebagian lain ingin tahu, dan hanya satu atau dua orang lumayan paham tentang apa yang terjadi di atas panggung itu.

Panggung itu adalah tempat Wayang Poo The Hie dimainkan. Tak selayaknya kebudayaan yang sudah masuk Indonesia sekitar 300 tahun lalu itu manggung di seonggok gang di Jakarta. Belum lagi banyak dahi berkerut mendengar nama wayang tadi. Itu adalah salah satu jenis kesenian asal negeri China yang sudah berumur lebih dari 3.000 tahun.

Di Jakarta, dulu kala, salah satu tempat manggung wayang ini tak lain adalah Gedung Candra Naya yang kini juga menanti nasib lebur bersama banyak sejarah yang sudah lebih dulu lenyap (dilenyapkan). Poo (kain) the (kantong) hie (wayang) adalah wayang boneka yang mengenakan pakaian khas China. Wayang ini tak sempat berkembang karena diberangus selama 32 tahun di masa rezim Orde Baru.

Dalam rangka ulang tahun ke 315 Vihara Amurva Bhumi, vihara ini mengundang Thio Tiong Gie alias Teguh Candra Irawan, satu satunya dalang Wayang Poo The Hie asal Semarang yang masih ada. Pria ini sudah renta, tak sampai dua bulan lagi usianya 73 tahun.

Malam itu sang dalang membawakan lakon tentang Kaisar Cin Si Ong atau Qin Hsi Huang Di yang menaklukkan enam kerajaan _hanya saja malam itu hanya digelar tentang dua penaklukkan, terhadap Kerajaan Che Kok dan Yan Kok, selebihnya dilanjutkan pada malam berikutnya. Dinasti ini juga yang mempersatukan Tiongkok, meninggalkan Tembok Besar China; dan terracotta (patung dari tanah) lebih dari 6.000 prajurit dan kuda di bawah tanah di Xi'an, China.

Pergelaran berdurasi dua jam ini dimulai dengan musik yang sekilas bunyinya nyaris seperti gambang kromong. Alat musik itu antara lain terdiri atas semacam rebab, terompet, tambur, dan suling China (siau). Dalang wayang ini menggunakan bahasa Melayu Tionghoa yang bercampur dengan dialek Jawa. Hanya suluk (nyanyian) nya saja yang tetap menggunakan bahasa aslinya, Hokkian. Cerita wayang yang digelar pada umumnya memang legenda dan cerita klasik China.

***

SEBELUM mendalang, Tiong Gie menyempatkan ngobrol dengan beberapa penonton. Di situ dia ungkapkan gundahnya, kesenian ini nyaris punah. "Dalangnya sedikit sekali. Di Semarang cuma saya, yang lain ada di Surabaya. Tapi di Surabaya itu malah kebanyakan penduduk pribumi yang meneruskan kesenian ini."

Keturunan Tiong Gie pun tak ada satupun yang tertarik meneruskan pewayangan ini. "Anak saya empat laki, tiga perempuan, 18 cucu, ndak ada yang ikutin saya," tambahnya.

Pesan yang dilayangkan wayang ini tak jauh beda dengan wayang kulit, wayang golek atau ketoprak. "Isinya, ya, soal keberanian, kejujuran, kesetiaan," ucap Tiong Gie yang terjun ke dunia pedalangan sejak usia 27 tahun.Menurut dia, di salah satu cerita Shi Jin Kwi pernah dikutip dalam Bahasa Jawa oleh Ketoprak Cokro Ijo Yogyakarta. Tapi, nama tokohnya berubah. Misalnya, Kerajaan Tai Tong Tiaw menjadi Kerajaan Tanjung Anom, Kaisar Li Sie Bin menjadi Prabu Li San Puro, jenderal perang Shi Jin Kwi menjadi jenderal Joko Sudiro, dan putra Sie Teng San menjadi Sutrisno.

Sama seperti nasib kesenian tradisional lain misalnya ketoprak, ludruk, wayang orang, wayang kulit, dan wayang golek, nasib Poo The Hie pun sudah di ujung senja. Budaya pop menggila di negeri ini. Menyisakan secuil orang yang masih bergelut, bergantung, dan peduli pada budaya tradisional. Bagaimana pun wayang Poo The Hie telah memberi sumbangan dalam khasanah budaya Indonesia.

Lantas, siapa yang punya formula guna "meremajakan" Poo The Hie, yang pernah "dipasung" 32 tahun oleh rezim yang antikomunis itu? Wayang ini menanti tangan dan jiwa yang mampu membudayakannya kembali, memoles, kemudian menjualnya pada para wisatawan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com