Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekhawatiran Pakistan Dipimpin Bekas Koruptor Pikun

Kompas.com - 29/08/2008, 14:59 WIB

ASIF Ali Zardari, duda mendiang Benazir Bhutto, digadang-gadang menjadi presiden Pakistan berikutnya, menggantikan pensiunan jenderal Pervez Musharraf. Tetapi Zardari yang dijuluki 'Tuan 10 Persen' itu orang yang tepat memimpin Pakistan?

Masyarakat Pakistan tersentak ketika pengacara Zardari mengungkapkan, mungkin kliennya menderita gangguan mental selama beberapa tahun terakhir. Ini membuat warga Pakistan semakin bingung.

"Orang-orang memang punya ingatan pendek, tetapi tidak pendek-pendek amat. Namanya saja sudah mirip dengan korupsi," kata Rafat Saeed (42), saat memarkir mobilnya di tepi jalanan Karachi yang sibuk, Kamis (28/8).        
Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya agak grogi mengamati kejatuhan Musharraf dan koalisi partai yang mendukungnya setelah dipaksa berhenti oleh oposisi.
       
Sekarang partai Zardari menguasai pemerintahan sipil yang baru berusia lima bulan dan politisi 53 tahun itu, seperti sudah diperkirakan banyak kalangan, akan dilantik menjadi presiden pada 6 September.
       
Bila demikian kejadiannya, ia akan menjadi salah satu dari sekian pemimpin terkuat selama 61 tahun sejarah Pakistan. Ia berhasil meruntuhkan semua kekuatan yang berpusat pada Musharraf selama sembilan tahun terakhir.
       
Tapi rakyat Pakistan ingat, dia punya segudang kesalahan di masa lalu. Dengan simpanan 60 juta dollar AS di bank Swiss, tuduhan korupsi semasa Benazir berkuasa itu tidak akan lenyap begitu saja. Apalagi ada pertanyaan soal kesehatan mentalnya.

Dalam kasus korupsi yang diajukan pemerintah Pakistan, pengacara Zardari mengatakan kepada pengadilan di London tahun lalu bahwa kliennya menderita demensia atau kepikunan dan beberapa gangguan psikologis lain. Taktik ini tampaknya untuk menunda proses pengadilan.       
Para  pengacara itu mengatakan masalah kesehatan itu didapat Zardari ketika mendekam di penjara Pakistan beberapa tahun. Zardari mengaku, selama dalam tahanan ia dikurung di sel isolasi dan disiksa. Ia selalu khawatir atas keselamatannya sebelum dibebaskan pada 2004. Pengakuan soal gangguan mental itu pertama kali diungkapkan Financial Times.       
       
Teman, keluarga dan para anggota partainya bersikukuh bahwa Zardari sehat walafiat dan mampu memimpin. "Memang, dulu dia sangat tertekan," kata Wajid Hasan, dubes Pakistan untuk Inggris dan teman lama Zardari. Namun menurut Hasan, diagnosis itu sudah lebih dari satu tahun lalu.
       
"Dia tidak pernah dianjurkan minum obat, cukup konseling. Saya cukup lama menghabiskan waktu bersama dia selama dua tahun terakhir. Dia cukup waspada dan stabil," kata Hasan menambahkan.       
       
Namun, tentu saja musuh-musuh politiknya tidak setuju. "Pasien seharus tidak boleh jadi presiden," kata Sadiqul Farooq, juru bicara partai Liga Muslim Pakistan, pimpinan mantan PM Nawaz Sharif, yang baru saja keluar dari koalisi oposisi.
       
Zardari mendapat julukan Tuan 10 Persen ketika menjabat menteri investasi dan lingkungan era Benazir. Saat itu ia dituduh mengutip komisi dari berbagai kontrak, mulai dari pengadaan traktor dari Polandia sampai impor emas.       
       
Ia berdalih, tudingan itu merupakan bagian dari kampanye negatif untuk menghalangi Benazir pulang dari pengasingan setelah pemerintahannya ambruk pada 1996. Pemerintah Pakistan menuduh pasangan ini melarikan dana 1,5 miliar dollar AS keluar negeri.
       
Jaksa Swiss, Daniel Zappelli, mengatakan Kamis (28/8), bahwa sekitar dana 60 juta dollar yang mengendap di sebuah rekening bank di negara itu sejak 1990-an akan dicairkan seperti permintaan pemerintah Pakistan.        
Ia menolak menyebut pemilik dana itu dengan alasan kerahasiaan bank. Namun Hassan Habib dari Kedutaan Besar Pakistan di Bern mengatakan keyakinannya bahwa dana itu milik Benazir atau sang suami atau rekening bersama.       
       
Namun di antara skeptisisme itu, masih ada warga Pakistan yang melihat Zardari tidak terlalu buruk. Imran Ibrahim (27), pialang saham, sangat sedikit politisi negeri itu yang benar-benar bersih. Banyak menggunakan kekuasaan atau jabatannya untuk mempertebal kantong atau memperkaya keluarga dan teman-teman mereka. "Tak satu pun yang bebas dari kecurangan. Menurut saya, ia lebih baik dibandingkan orang-orang itu. Lagi pula, dia kan suami Benazir Bhutto yang memimpikan Pakistan makmur. Dia akan mewujudkan mimpi sang istri, atau setidaknya dia akan berupaya," kata Imran.       
       
Bhutto dibunuh pada 27 Desember 2007 saat berkampanye untuk pemilu parlemen. Zardari segera menggantikan posisinya sebagai ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP). Banyak orang terperangah ketika ia berhasil menggalang banyak pendukung.
       
Mantan atlet polo yang lahir dari keluarga tuan tanah kaya raya ini semula tidak menunjukkan minat pada politik. Tetapi kemudian terbukti bahwa itu bukan karena tidak punya keterampilan. Dengan membentuk aliansi longgar dengan Sharif yang menjadi rival sengitnya, Zardari berhasil memaksa Musharraf mundur. Koalisi itu pun akhirnya berkuasa.

Memang akhirnya Musharraf jatuh, tetapi gesekan di antara koalisi malah mengemuka. Sharif menuduh Zardari melanggar janji untuk secepatnya mengembalikan jabatan sejumlah hakim yang dipecat Musharraf atau mengurangi kekuasaan presiden sebanyak mungkin. Sharif akhirnya keluar dari koalisi dan memilih menjadi oposisi. PPP pun langsung menggandeng rekan koalisi baru, sejumlah partai kecil di parlemen, yang akhirnya malah membuatnya semakin dominan.       
       
Ishtiaq Ahmad, seorang profesor politik di Quaid-i-Azam University di Islamabad, mengatakan, anggapan bahwa munculnya Zardari mirip kebangkitan kembali si tua Sharif sangat diragukan. "Dia mungkin ahli dalam politik Darwinian, tetapi masyarakat melihat tidak adanya kualitas kepemimpinan," kata Ahmad.

AS khawatir terhadap bangkitnya militansi Islam di Pakistan, khususnya di kawasan utara yang panas dan dikabarkan sebagai tempat persembunyian Osama bin Laden. Amerika Serikat berharap Pakistan masih menjadi sekutunya dalam memerangi terorisme. AS melihat Benazir yang menjadi pengkritik keras para ekstremis sebagai sekutu potensial dan mendorongnya untuk memulihkan hubungan dengan Musharraf. Harapannya, Musharraf-Benazir bisa membentuk koalisi yang pro-barat dan meningkatkan kampanye melawan Taliban dan al Qaeda.
       
Negosiasi sudah dilakukan untuk memuluskan kepulangannya, termasuk kesepakatan dari Musharraf untuk menutup kasus korupsi yang melibatkan pasangan itu. Namun akhirnya semua berantakan. Maret lalu, pengadilan Pakistan membebaskan Zardari dari kasus terakhir yang ditangguhkan, termasuk impor limosin mewah dari Jerman. Ketika pemerintah memberitahu penegak hukum di Swiss dan Inggris bahwa tidak ada tindak pidana, maka pengadilan di kedua negara Eropa itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menghentikan proses pengadilan.
       
Sementara itu, sentimen anti-Amerika masih tinggi di Pakistan, khususnya terkait aksi militer di Afghanistan  dan Irak. Di sini lah banyak warga Pakistan yang khawatir Zardari akan terlalu dekat dengan Washington. Lalu pemerintah yang baru lima bulan berjalan ini mencoba lagi membuka perundingan damai dengan kaum militan setelah berkuasa, seperti pernah dilakukan Musharraf. Tetapi hingga kini belum tampak hasil yang berarti, kecuali aksi kekerasan yang tetap berlangsung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com