Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mak Eha dan Mbah Karto

Kompas.com - 20/06/2008, 08:51 WIB

Beberapa kali saya singgah ke Pasar Cihapit di Bandung untuk mencicipi masakan Mak Eha yang legendaris. Tetapi, tiga kali saya gagal. Pertama kali datang ke sana ternyata saya kesiangan. Mak Eha sudah meninggalkan tempat. Kedua kalinya saya datang, Mak Eha tidak berjualan. Ketiga kali, eh, ternyata Mak Eha tutup lebih dulu karena dagangannya habis.

Untungnya, Pasar Cihapit punya berbagai pelipur lara. Di sana saya menemukan pedagang nasi kuning dengan kualitas unggul di depan pasar. Ada juga seorang penjual lontong kari yang boleh diandalkan. Di kelas jajanan, ada beberapa juara pula. Ada seorang penjual kripik jamur yang menurut saya sangat kreatif. Gorengan jamurnya istimewa. Memang agak mahal untuk kelas pasar. Tetapi, jamur ‘kan tidak murah? Di samping itu, kualitas juga menentukan.

Di Pasar Cihapit juga ada seorang penjual gorengan yang terkenal sejak puluhan tahun. Pedagang keturunan Tionghoa ini sudah menjadi langganan banyak orang. Orang-orang yang sudah lama meninggalkan Bandung pun masih kembali mencari goreng pisang dan goreng tempe dari gerai ini. Ada juga seorang penjual uli (juadah ketan) dan tape dari nasi yang dibungkus kecil-kecil dalam daun.

Semua makanan dan jajanan yang saya sebut di atas memang berhasil meredam kekecewaan saya setiap kali datang ke Pasar Cihapit dan tidak menemukan Mak Eha. Tetapi, tetap saja, semakin “panas” mengingini Mak Eha. Panasaran!

Rupanya, “peruntungan” saya ada di Gwen, anak kami. Sekalinya saya datang ke Pasar Cihapit bersama Gwen, eh Mak Eha ada di sana ... fully in charge.

Mak Eha sudah sepuh. Barangkali sekitar 70-an tahun. Beberapa putri dan menantunya ikut membantunya mengelola warung makan sederhana di tengah pasar yang ramai. Tetapi, yang paling ramai tentulah warung Mak Eha. Bangku-bangku panjang yang tersedia di sana rupanya tidak cukup untuk menampung orang-orang yang ingin makan. Mereka menunggu dengan sabar sampai tersedia ruang kosong di antara bangku-bangku itu. Banyak pula orang yang datang untuk membeli dan dibawa pulang.

Saya memesan sayur kepala kakap. Namanya memang begitu. Tidak dibilang gulai kepala ikan atau sup kepala ikan. Deskripsi untuk makanan yang satu ini memang sulit. Sajiannya berkuah santan, dengan bumbu yang kaya dan kompleks. Tetapi, rasanya tidak mirip gulai, sekalipun warnanya sama kuning. Bumbu-bumbunya sangat balanced, sehingga sulit menjejaki apa saja yang ada di dalamnya. Tampak lembaran-lembaran lebar daun kunyit dan kemangi di dalam kuahnya yang sedikit kental. Sungguh, totalitas citarasanya jauh lebih eksotis daripada gulai. Aromanya pun menggoda. Tidak heran bila sayur kepala ikan ini merupakan “bintang” di warung Mak Eha. Kalau tidak datang pagi, jangan harap masih tersisa untuk Anda. Pedas-pedas gurih, penuh pesona, dengan nuansa Sunda yang cukup jelas. Mak nyuss!

Semua hidangan Mak Eha mewakili ciri masakan rumahan yang bahkan mungkin tidak perlu diberi nama. Pokoknya, yang ini ada jengkolnya, yang itu ada tempenya, yang di sana itu pakai teri, dan lain-lain. Mak Eha juga sepenuhnya sadar bahwa di dalam setiap keluarga selalu ada anak-anak yang lidahnya belum siap untuk masakan pedas, sehingga cukup banyak pula masakannya yang berkatagori gurih dan manis.

Di atas tadi saya menulis tentang Mak Eha yang fully in charge. Memang itulah kesan pertama saya tentang Mak Eha. Ia bagaikan seorang matriarch yang menjadi pusat dari semua kegiatan di warungnya. Dengan punggung jari-jarinya ia menyentuh makanan-makanan yang disajikan untuk menguji suhu masing-masing. Bila perkedel sudah dingin, ia segera memerintahkan agar menggoreng perkedel baru. Ketika salah seorang pembantunya mengulek sambal, ia datang untuk mencicipi. Lalu menambahkan sedikit garam untuk menyeimbangkan cita rasanya. Luar biasa! Mak Eha melakukan quality control secara terus-menerus terhadap masakannya. Mungkin itulah kiat sukses usahanya selama puluhan tahun ini.

Gwen terpesona akan perkedel buatan Mak Eha. Maaf, sekali ini saya terpaksa membuat perbandingan langsung tentang perkedel Mak Eha. Anda semua tentunya kenal perkedel “misterius” dengan nama aneh yang sangat laku dan dijual HANYA mulai tengah malam di kawasan Stasiun Bandung, bukan? Perkedel yang satu ini sampai diantre orang. Bahkan sekarang banyak joki yang bersedia mengantre untuk Anda agar dapat mencicipi perkedel itu tanpa bersusah payah.

Perkedel Mak Eha tersedia pada saat yang lebih wajar, civilized hours. He-he-he rasanya? Jauh lebih mak nyuss! Bumbunya begitu cantik, dengan sedikit daging sapi cincang di dalamnya. Benar-benar gurih. Gwen sampai membungkus beberapa perkedel sebagai cemilan di mobil. Cemilan kok perkedel?

Gwen bersepakat dengan saya bahwa semua sajian Mak Eha yang kami cicipi memang istimewa. Out of this world, kata Gwen. Lagi-lagi saya harus mengakui bahwa Indonesia benar-benar kaya dengan local talents seperti Mak Eha yang dengan kesederhanaannya berhasil menampilkan pusaka kuliner Indonesia at its best. Saya sungguh terpukau dan terpesona akan kualitas masakan Mak Eha dan putri-putrinya.

Mak Eha membuat saya teringat sebuah warung kecil di Sukoharjo, Solo. Warung ini sebenarnya direkomendasikan oleh seseorang yang saya temui dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam beberapa tahun yang lalu. Ia sedang dalam perjalanan untuk mempromosikan mebel produksinya di Eropa. “Kalau ke Sukoharjo, harus dan wajib singgah ke ayam goreng Mbah Karto,” katanya. “Ayam kampung yang gurih banget dengan sambal yang luar biasa.”

Sukoharjo adalah kota yang bertetangga dengan Solo, tetapi saya jarang singgah ke sana. Karena itu, dalam kunjungan terakhir, saya sempatkan datang. Warungnya menempati sebuah rumah lama berukuran besar. Rumah desa dengan dinding dari anyaman bambu. Lantainya dari tanah. Tetapi, rumah ini berada di sebuah jalan besar. Di seberangnya ada kantor Perusahaan Listrik Negara dan polres. Tidak heran banyak pegawai PLN dan polisi santap siang di sana. Kalau Anda sedang masuk DPO (Daftar Pencarian Orang), jangan masuk ke sana ya...

Begitu masuk warung, aroma gurih ayam goreng tertebar di dalam rumah yang redup dan sejuk itu. Saya memesan ayam goreng dan jeroan yang segera tersaji. Warna ayam gorengnya kuning kecoklatan cantik. Dari tampilannya tampak bahwa ayam ini tidak dibumbu bacem seperti kebiasaan ayam goreng di daerah Jawa Tengah. Tetapi, jelas pula telah diungkep dulu sebelum digoreng.

Ayam gorengnya sungguh gurih. Jangan kaget bila tingkat keasinannya sedikit di atas rata-rata. Orang Jawa Tengah memang menyukai ayam goreng yang sedikit asin, dengan sambal yang manis. Tingkat keempukan dan tekstur ayam gorengnya luar biasa, dengan bumbu yang meresap hingga serat-seratnya yang paling dalam. Saya sudah agak lama mengurangi jeroan ayam, tetapi kali ini saya membuat perkecualian serius. Sambalnya yang istimewa membuat semua orang makan seperti kesetanan di sana.

Bagi saya, satu-satunya ayam goreng yang mampu mendekati kualitas ayam goreng Mbah Karto di Sukoharjo ini adalah ayam goreng Mardun Martinah di Jalan Mangga Besar dan Asem Reges, Jakarta Pusat. Kalau dibiarkan, saya bisa menghabiskan empat potong ayam goreng di masing-masing tempat itu.

I’ll be back!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com