Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangkitlah Bangsaku, Bangkitlah Pasarku!

Kompas.com - 26/05/2008, 08:45 WIB

Menjelang Hari Kebangkitan Nasional, saya mewakili Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) hadir di Solo dalam acara yang diberi tajuk Festival Seni “Pasar Kumandang”.

Bagi orang Jawa, kata-kata “Pasar Kumandang” itu pastilah akan langsung mengingatkan kita pada pemeo “pasar sing ilang kumandange” – pasar yang kehilangan gaungnya.

Fenomena itulah yang sedang terjadi di negeri kita yang tercinta ini. Pasar tradisional semakin tergilas oleh kehadiran supermarkets dan shopping malls yang merupakan simbol-simbol kemajuan dan peradaban. Berbagai rekayasa “kebakaran” telah menghancurkan pasar tradisional. Dan sebagai gantinya, muncullah mall baru – seolah-olah kita selalu kekurangan tempat belanja.

Sebetulnya, pasar yang hilang itu memang tidak pernah tergantikan. Mall yang hadir adalah sebuah fenomena baru, bukan pengganti pasar. Kenapa? Karena kita semua tahu bahwa pasar tradisional adalah pusat budaya dan aktivitas sosial masyarakat kita sejak dulu. Ruh itulah yang hilang dan tak akan pernah tergantikan oleh kelahiran mall baru.

Festival Seni “Pasar Kumandang” di Solo itu merupakan sebuah penjelajahan ke lima pasar tradisional yang masih hidup di Solo, yaitu: Pasar Gede, Pasar Kembang, Pasar Triwindu, Pasar Nusukan, dan Pasar Legi. Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Pusaka Solo yang didukung oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat. Penjelajahan dilakukan dengan naik andong –  kereta kuda khas Solo – yang beriringan menuju ke pasar-pasar tujuan.

Di depan Pasar Gede, sebuah panggung dipenuhi sesajen berupa tumpeng dan berbagai jajan pasar. Grebeg lesung Loroblonyo dari Karanganyar sejak pagi sudah menghibur pengunjung dengan atraksinya. Nyeni, ndesani, tetapi cukup otentik untuk mewakili salah satu tampilan seni rakyat yang semakin termarjinalkan. Belasan anak-anak kecil yang lucu-lucu juga menampilkan tari-tarian Jawa klasik. Mbah Prapto (Soeprapto Soerjosoedarmo) dari Padepokan Lemah Putih menyambut saya dengan “seragam”-nya yang nyentrik.

Pasar Gede adalah salah satu pasar tradisional di Indonesia yang secara arsitektur masih sama dengan desain aslinya, dan hingga kini menjalankan fungsinya secara terus-menerus sebagai pasar. Seperti juga pasar-pasar utama di kota-kota lain, Pasar Gede Solo berada tepat di tengah kota. Karena itu, Pasar Gede juga menghadapi ancaman bahaya yang sama dengan pasar-pasar tradisional lain yang menempati lahan realestat prima. Diratatanahkan, di-ruilslag, dan berubah wajah menjadi mall modern.

Untungnya, Walikota Solo Ir. H. Joko Widodo, memahami makna sejarah dan nilai budaya pasar-pasar tradisional di wilayahnya. Ia bahkan berada di ujung tombak pelestarian dan revitalisasi pasar-pasar tradisional.

Pasar Gede Harjanagara ini selesai dibangun pada tahun 1930, karya arsitek Herman Thomas Karsten. Setelah membangun Pasar Gede, Karsten juga mendesain dan membangun Pasar Johar di Semarang – dimulai tahun 1933 dan rampung pada tahun 1939. Karsten membeli biro arsitek milik Henri Maclaine Pont – juga seorang arsitek tersohor – yang harus kembali ke tanah airnya karena alasan kesehatan. Karsten adalah adik kelas Maclaine Pont di Sekolah Tinggi Teknik di Delft.

Bagi pengamat arsitektur Indonesia, Karsten adalah seorang yang istimewa. Ia bukan jenis orang yang sibuk di belakang meja gambar, tetapi selalu sibuk mengamati objek garapannya sebelum mulai mendesain. Siapa arsitek yang tekun memerhatikan ulah lalat? Karsten menyimpulkan bahwa lalat tidak mampu terbang tinggi. Dengan kesimpulan itu, ia mendesain pasar bertingkat dua. Los daging dan ikan – yang biasanya menjadi sasaran lalat – ditempatkan di lantai dua agar bebas dari serbuan lalat. Karsten juga membuat lantai pasar lebih tinggi dari jalan agar kuli panggul dapat menurunkan dan mengangkat barang-barang berat secara ergonomik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com