JAKARTA, SELASA - Berbicara tentang persoalan perempuan, ternyata dari dulu (tahun 1920-an) hingga sekarang ada satu hal yang selalu menjadi sorotan, poligami. Setidaknya, hal itu diamini oleh 3 tokoh perempuan, Ayu Utami (penulis novel), Mariana Amiruddin (Jurnal Perempuan) dan Agung Ayu Ratih (Lingkar Tutur Perempuan).
Ketiganya mengungkapkan pemikirannya tentang perempuan dan kebangkitan nasional, dalam peluncuran buku "Sejarah Perempuan Indonesia" karya Cora Vreede-de Steur dan "Prajurit Perempuan Jawa" karya Ann Kumar, di Toko Buku Gramedia, Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (20/5).
"Kalau kita lihat, persoalan perempuan dari dulu sampai sekarang tidak bergerak atau linear. Berkutatnya di persoalan poligami, yang masih menjadi isu sentral dan sensitif. Termasuk dalam buku ini (sambil menunjukkan buku "Sejarah Perempuan Indonesia". Tahun 1920-an ternyata poligami juga sudah menjadi masalah sensitif," ujar Ayu Utami.
Padahal, kata Ayu, ketika berbicara tentang perempuan yang sering terlupakan adalah penghancuran gerakan perempuan. Tak ada catatan yang rigid tentang gerakan kaum perempuan di masa lalu. "Padahal, kalau kita lihat apa yang dipikirkan atau dituangkan Budi Utomo (tokoh Kebangkitan Nasional) itu seringkali juga mengutip pemikiran Kartini. Tapi tidak ada yang mengungkap itu," katanya.
Agung Ayu Ratih berpendapat, saat zaman perjuangan, seorang tokoh perempuan, Sumari telah berjuang untuk menentang poligami. Ia mencontohkan, Sumari memperjuangkan mengenai UU Pensiunan, yang semula mengatur bahwa uang pensiun berhak didapatkan oleh istri pertama hingga keempat dari seorang pegawai.
"Sumari kemudian berjuang, dengan menyuarakan bahwa sebagian besar anggaran belanja negara itu habis untuk membiayai pensiun karyawan yang istrinya lebih dari satu. Akhirnya gol juga," tutur Agung.
Diluar itu, Agung mengakui bahwa perbincangan tentang gerakan perempuan tak bisa dilepaskan oleh persoalan poligami. Kondisi ini, ditumbuhsuburkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi terhadap laki-laki. Saat ini, perempuan bahkan tanpa disadari telah dikriminalisasi oleh regulasi.
"Bayangkan, ada Perda atau peraturan per-UUan yang membatasi ruang gerak perempuan, kembali secara perlahan menarik perempuan ke wilayah domestik. Kita tidak menyadari, ini bentuk kriminalisasi terhadap perempuan. Misalnya saja, ada Perda yang melarang perempuan bekerja malam," kata Mariana.
Seabad Kebangkitan Nasional, dinilai Mariana, tidak membawa keberhasilan pada sejarah perempuan. "Bayangkan, 100 tahun kebangkitan nasional, kami berpanas-panas menyuarakan menentang poligami yang sudah melanggar hak perempuan, tiba-tiba ada film Ayat-ayat Cinta yang membuat orang menangis. Saya juga menangis saat menontotnnya, tapi menangisi kegagalan. Lagi-lagi soal poligami," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.